MohammadNatsir Mohammad Natsir adalah tokoh intelektual, pejuang, ulama, sekaligus negarawan yang pernah dimiliki Indonesia. Dalam dunia politik, ia juga merupakan tokoh terpandang dan dipercaya untuk memimpin Partai Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada 1945 hingga titik pembubarannya pada 1960. Dia dikenang sebagai menteri
Secara garis besar, pandangan para ulama/cendekiawan muslim tentang demokrasi terbagi menjadi dua pandangan utama, yaitu; pertama, menolak sepenuhnya, kedua, menerima dengan syarat tertentu. Berikut ditamplkan ulama yang mewakili kedua pendapat tersebut 1. Abul A’la Al-Maududi . Al-Maududi secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya, Islam tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap agama sehingga cenderung sekuler. Karenanya, al-Maududi menganggap demokrasi modern Barat merupakan sesuatu yang bersifat syirik. Menurutnya, Islam menganut paham teokrasi berdasarkan hukum Tuhan. 2. Mohammad Iqbal. Menurut Iqbal, sejalan dengan kemenangan sekularisme atas agama, demokrasi modern menjadi kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama. Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal Islam tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi an sich, seperti yang dipraktekkan di Barat. Lalu, Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi sebagai berikut a Tauhid sebagai landasan asasi. b Kepatuhan pada hukum. c Toleransi sesama warga. d Tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit. e Penafsiran hukum Tuhan melalui ijtihad. 3. Muhammad Imarah. Menurut Imarah, Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif membuat dan menetapkan hukum secara mutlak berada di tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura Islam kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah Swt.. Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah Swt.. Jadi, Allah Swt. berposisi sebagai al-Syari’ legislator sementara manusia berposisi sebagai faqih yang memahami dan menjabarkan hukum-Nya. Demokrasi Barat berpulang pada pandangan mereka tentang batas kewenangan Tuhan. Menurut Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam, Dia membiarkannya. Dalam filsafat Barat, manusia memiliki kewenangan legislatif dan eksekutif. Sementara, dalam pandangan Islam, Allah Swt. pemegang otoritas tersebut. Allah Swt berfirman أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ ۗ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah Swt. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”. Inilah batas yang membedakan antara sistem syariah Islam dan demokrasi Barat. Adapun hal lainnya seperti membangun hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam. 4. Yusuf al-Qardhawi. Menurut Al-Qardhawi, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal, misalnya sebagaimana berikut a Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam salat yang tidak disukai oleh ma'mum di belakangnya. b Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar ma'ruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam. c Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah Allah Swt. untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan. d Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka, yaitu Abdullah ibnu Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas. e Kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam. 5. Salim Ali al-Bahasnawi. Menurut Salim Ali al-Bahasnawi, demokrasi mengandung sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan Islam dan memuat sisi negatif yang bertentangan dengan Islam. Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang haram. Karena itu, ia menawarkan adanya Islamisasi demokrasi sebagai berikut a Menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah Swt.. b Wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugastugas lainnya c Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam al-qur'an dan Sunnah. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah Al Quran dan Rasul sunnahnya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya." QS. an-Nisa'59 وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata."QS. al-Ahzab 36. d Komitmen terhadap Islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen. Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang pandangan ulama intelektual muslim tentang demokrasi. Sumber Buku Pendidikan Agama Islam Kelas XII SMK Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2015. Kunjungilah selalu semoga bermanfaat. Aamiin.
Penulisdapat menyimpulkan analisisnya yang bersumber dari Al-Qur'an surah Al-A’raf ayat 196, kutipan dari hadits Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi mengenai kunci sah shalat dan pendapat ulama yang diambil dari artikel yang terdapat di Republika online. Menggunakan empat metode penerjemahan: 1. Secara harfiyyah. 2.
DR. YUSUF AL-QARADHAWI DAN DEMOKRASIOleh Syaikh Sulaiman bin Shalih Al-KhurasyiDr. Yusuf al-Qaradhawi mendukung demokrasi seraya berpendapat bahwa demokrasi merupakan alternatif terbaik untuk diktatorisme dan pemerintahan tirani. Berikut ini ringkasan pendapat Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengenai demokrasi disertai dengan komentar Yusuf al-Qaradhawi mengatakan “Sesungguhnya sisi liberalisme demokrasi yang paling baik menurut saya adalah sisi politiknya, yang tercermin dalam penegakan kehidupan perwakilan, di dalamnya rakyat dapat memilih wakil-wakil mereka yang akan memerankan kekuasaan legislatif di parlemen, dan di dalam satu majelis atau dua ini hanya bisa ditempuh melalui pemilihan umum yang bebas dan umum, dan yang berhak menerima adalah yang mendapat suara paling banyak dari para calon yang berafiliasi ke partai politik atau non-partai.“Kekuasaan yang terpilih” inilah yang akan memiliki otoritas legislatif untuk rakyat, sebagaimana ia juga mempunyai kekuasaan untuk mengawasi kekuasaan eksekutif atau “pemerintah”, menilai, mengkritik, atau menjatuhkan mosi tidak percaya, sehingga dengan demikian, kekuasaan eksekutif tidak lagi layak untuk kekuasaan yang terpilih, maka semua urusan rakyat berada di tangannya, dan dengan demikian, rakyat menjadi sumber ini secara teoritis cukup baik dan dapat diterima, menurut kaca mata Islam secara garis besar, jika dapat diterapkan secara benar dan tepat, serta dapat dihindari berbagai keburukan dan hal-hal negatif yang terdapat katakan “secara garis besar”, karena pemikiran Islam memiliki beberapa kewaspadaan terhadap beberapa bagian tertentu dari bentuk di terpilih itu tidak memiliki penetapan hukum untuk hal-hal yang tidak diizinkan oleh Allah Ta’ala. Kekuasaan ini juga tidak boleh menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal atau menggugurkan suatu kewajiban. Sebab, yang mem­punyai kekuasaan menetapkan hukum satu-satunya hanyalah Allah jalla Sya’ hanya boleh membuat hukum untuk diri mereka sendiri dalam hal yang diizinkan Allah Ta’ala saja. Artinya, hukum yang mengatur kepentingan dunia mereka yang tidak dimuat di dalam suatu nash tertentu, atau nash yang mengandung beberapa makna kemudian mereka memilih salah satu makna dan meng­gunakannya dengan memperhatikan kaidah-kaidah syari’at. Dalam hal itu terdapat medan yang sangat luas sekali bagi para pembuat karena itu, harus dikatakan “Sesungguhnya rakyat merupakan sumber kekuasaan dalam batas-batas syari’at Islam.” Sebagaimana dalam Majelis Tasyri’ Badan Legislatif harus ada komisi khusus yang dipegang oleh para ahli fiqih yang mampu mengambil kesimpulan dan melakukan ijtihad. Juga menilai ber­bagai ketetapan undang-undang, untuk mengetahui sejauh mana kesesuaiannya dan penyimpangannya dari syar’iat, walaupun sistem demokrasi sendiri tidak mensyaratkan hal tersebut, meski dalam undang-undang dinyatakan bahwa agama negara yang dianut adalah para calon wakil rakyat juga harus benar-benar memenuhi atau memiliki bekal yang kuat dalam agama dan akhlak serta beberapa ketentuan lainnya, misalnya keahlilan dalam bidang kepentingan umum dan lain sebagainya. Jadi, calon wakil rakyat tidak boleh dari seorang penjahat atau pemabuk atau suka mening­galkan shalat atau orang yang menganggap enteng sana terdapat dua sifat yang disyaratkan Islam bagi setiap orang yang akan mengemban suatu Mampu mengemban pekerjaan ini dan mempunyai pengalaman di Amanah. Dengan sifat amanah inilah suatu pekerjaan akan terpelihara dan pelakunya akan takut kepada Allah Ta’ala. Itulah yang diungkapkan oleh al-Qur’an melalui lisan Yusuf Alaihissallam, di mana dia mengatakanقَالَ اجْعَلْنِي عَلَىٰ خَزَائِنِ الْأَرْضِ ۖ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ“Berkata Yusuf, jadikanlah aku bendaharawan negara Mesir; sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi ber­pengetahuan. “ [Yusuf /12 55]Juga dalam kisah Musa Alaihissallam, melalui lisan puteri seorang yang sudah tua rentaإِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ“Karena sesungguhnya, orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja pada kita ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. “ [Al-Qashash/28 26]Dengan demikian, kekuatan dan ilmu memerankan sisi intelektual dan profesional yang menjadi syarat suatu pekerjaan, sedangkan kemampuan menjaga dan amanat mencerminkan sisi moral dan mental yang memang dituntut pula untuk keberhasilannya.[1]Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengungkapkan “Anehnya, sebagian orang memvonis demokrasi sebagai suatu yang jelas-jelas merupakan bentuk kemungkaran atau bahkan kekufuran yang nyata, sedang mereka belum memahaminya secara baik dan benar sampai kepada substansinya tanpa memandang kepada bentuk dan antara kaidah yang ditetapkan oleh para ulama terdahulu adalah, bahwa keputusan hukum terhadap sesuatu merupakan bagian dari pemahamannya. Oleh karena itu, barangsiapa menghukumi sesuatu yang tidak diketahuinya, maka hukumnya adalah salah, meskipun secara kebetulan bisa benar. Sebab, ibaratnya ia merupakan lemparan yang tidak disengaja. Oleh karena itu, di dalam hadits ditetapkan bahwa seorang hakim yang memberi ke­putusan dengan didasarkan pada ketidaktahuan, maka dia berada di neraka, sebagaimana orang yang mengetahui yang benar, tetapi dia menetapkan atau menghukumi dengan yang apakah demokrasi yang didengung-dengungkan oleh berbagai bangsa di dunia, dan diperjuangkan oleh banyak orang, baik di dunia belahan barat maupun timur, di mana ada sebagian bangsa bisa sampai kepadanya setelah melalui berbagai pertempuran sengit dengan penguasa tirani, yang menelan banyak darah dan menjatuhkan ribuan bahkan jutaan korban manusia. Sebagaimana yang terjadi di Eropa timur dan lain-lainnya, dan yang banyak dari pemerhati Islam menganggapnya sebagai sarana yang bisa diterima untuk meruntuhkan kekuasaan monarki, serta memotong kuku­kuku politik campur tangan, yang telah banyak menimpa masyarakat muslim. Apakah demokrasi ini mungkar atau kafir, sebagaimana yang didengungkan oleh beberapa orang yang tidak memahami sepenuhnya lagi tergesa-gesa!!?!”Sesungguhnya substansi demokrasi -tanpa definisi dan istilah akademis- adalah memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih orang yang akan mengurus dan mengendalikan urusan mereka, sehingga mereka tidak dipimpin oleh penguasa yang tidak mereka sukai, atau diatur oleh sistem yang mereka benci. Selain itu, mereka juga harus mempunyai hak menilai dan mengkritik jika penguasa melakukan kesalahan, juga hak opsi jika penguasa melakukan penyimpangan, dan rakyat tidak boleh digiring kepada aliran atau sistem ekonomi, sosial, kebudayaan, atau politik yang tidak mereka kenal dan tidak pula mereka setujui. Jika sebagian mereka menghalanginya, maka balasannya adalah pemecatan atau bahkan penyiksaan dan pembunuhan.”[2]Sesungguhnya Islam telah mendahului sistem demokrasi dengan menetapkan beberapa kaidah yang menjadi pijakan substansi­nya, tetapi Islam menyerahkan berbagai rinciannya kepada ijtihad kaum muslimin sesuai dengan pokok-pokok agama mereka, ke­pentingan dunia mereka, serta perkembangan kehidupan mereka sesuai dengan zaman dan tempat, dan juga pembaharuan keadaan demokrasi adalah, bahwa ia mengarahkan di sela­-sela perjuangannya yang panjang melawan kezhaliman dan kaum tirani serta para raja kepada beberapa bentuk dan sarana, yang sampai sekarang dianggap sebagai jaminan yang paling baik untuk menjaga rakyat dari penindasan kaum ada larangan bagi umat manusia, para pemikir dan pemimpin mereka untuk memikirkan bentuk dan cara lain, barang­kali cara baru itu akan mengantarkan kepada yang lebih baik dan ideal. Tetapi, untuk mempermudah kepada hal tersebut dan me­realisasikannya ke dalam realitas manusia, kita melihat bahwa kita harus mengambil beberapa hal dari cara-cara demokrasi guna me­wujudkan keadilan, permusyawaratan, penghormatan hak-hak asasi manusia, serta berdiri melawan kesewenangan para penguasa yang angkuh di muka bumi antara kaidah syari’at yang ditetapkan adalah, bahwa sesuatu yang menjadikan hal yang wajib tidak sempurna kecuali dengannya, maka ia itu menjadi wajib, dan bahwasanya tujuan­tujuan syari’at yang diharapkan adalah jika tujuan-tujuan itu mem­punyai sarana pencapaiannya, maka sarana ini boleh diambil sebagai alat menggapai tujuan ada satu syari’at pun yang melarang penyerapan pemikiran teori atau praktek empiris dari kalangan non-muslim. Karena, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sendiri pada perang Ahzab telah mengambil pemikiran “penggalian parit”, padahal strategi tersebut berasal dari strategi bangsa itu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah juga mengambil manfaat dari tawanan musyrikin dalam perang Badar “dari orang-orang yang mampu membaca dan menulis” untuk mengajarkan baca tulis anak-anak kaum meski mereka itu musyrik. Dengan demikian, hikmah itu adalah barang temuan orang mukmin, di mana saja dia menemukannya, maka dia yang paling berhak beberapa buku, saya telah mengisyaratkan bahwa merupakan hak kita untuk mengambil manfaat dari pemikiran, strategi dan sistem yang bisa memberikan manfaat kepada kita, selama tidak bertentangan dengan nash muhkam yang jelas dan tidak juga kaidah syari’at yang sudah baku, dan kita harus memilih dari apa yang kita ambil untuk selanjutnya menambahkannya dan melengkapinya dengan bagian ruh kita serta hal-hal yang dapat menjadikannya sebagai bagian dari kita dapat dan menghilangkan identitas pertamanya.”[3]Ungkapan seseorang yang mengatakan, bahwa demokrasi berarti kekuasaan rakyat oleh rakyat dan karenanya, harus ditolak prinsip yang menyatakan, bahwa kekuasaan itu hanya milik Allah semata, maka ungkapan semacam itu sama sekali tidak dapat para penyeru demokrasi tidak perlu harus menolak kekuasaan Allah atas manusia. Hal seperti itu tidak pernah terbersit di dalam hati mayoritas penyeru demokrasi. Tetapi yang menjadi konsentrasi mereka adalah menolak kediktatoran yang sewenang-­wenang, serta menolak pemerintahan otoriter terhadap setiap yang dimaksudkan dengan demokrasi oleh me­reka adalah memilih pemerintah oleh rakyat sesuai dengan hati nurani mereka, serta memantau tindakan dan kebijakan mereka, serta menolak berbagai perintah mereka jika bertentangan dengan undang undang rakyat, atau dengan ungkapan Islam “Jika mereka memerintahkan untuk berbuat maksiat,” dan mereka juga mem­punyai hak untuk menurtmkan penguasa jika melakukan penyim­pangan dan berbuat zhalim serta tidak mau menerima nasihat atau peringatan. “[4]Sesungguhnya undang-undang menetapkan, di samping berpegang pada demokrasi, bahwa agama negara adalah Islam dan bahwasanya syari’at Islam adalah sumber hukum dan undang­undang, dan yang demikian itu merupakan penegasan akan kekuasaan Allah atau kekuasaan syari’at-Nya, dan kekuasaan itulah yang memiliki kalimat juga untuk menambahkan pada undang-gundang materi yang secara tegas dan lantang menetapkan, bahwa setiap undang-undang atau sistem yang bertentangan dengan syari’at yang baku dan permanen, maka undang-undang itu adalah bathil.”[5]Tidak ada ruang untuk pemberian suara dalam berbagai hukum pasti dari syari’at dan juga pokok-pokok agama serta hal­hal yang wajib dilakukan dalam agama, tetapi pemberian suara itu pada masalah-masalah ijtihadiyah yang mencakup lebih dari satu pendapat. Sudah menjadi kebiasaan manusia untuk berbeda pendapat dalam hal tersebut, misalnya pemilihan salah satu calon yang akan menempati suatu jabatan, meskipun itu jabatan kepala negara, dan seperti juga pengeluaran undang-undang untuk mengatur lalu lintas jalan raya atau untuk mengatur bangunan tempat perdagangan atau industri atau rumah sakit, atau yang lainnya yang oleh para ahli fiqih disebut sebagai “mashalihul mursalah.” Atau seperti juga pengambilan keputusan untuk mengumumkan perang atau tidak, mengharuskan pembayaran pajak tertentu atau tidak, atau mengumumkan keadaan darurat atau tidak, atau mem­batasi jabatan Presiden, dan pembolehan membatasi masa pemilihan atau tidak, demikian banyak pendapat yang berbeda dalam masalah ini, maka apakah pendapat itu akan ditinggal menggantung begitu saja, apa­kah ada tarjih tanpa murajjah yang diunggulkan? Ataukah harus ada murajjah?Sesungguhnya logika akal, syari’at dan realitas menyatakan harus ada murajjah yang diunggulkan, dan yang diunggulkan pada saat terjadi perbedaan pendapat adalah jumlah terbanyak. Sebab, pendapat dua orang itu lebih mendekati kebenaran daripada pen­dapat satu orang, dan dalam hadits disebutkan“Sesungguhnya, syaitan itu bersama satu orang dan dia syaitan lebih jauh dari dua orang.”[6].[7]Ungkapan orang yang menyatakan, bahwa tarjih pengunggulan satu pendapat itu adalah untuk yang benar meskipun tidak ada seorang pun pendukungnya. Adapun yang salah harus ditolak meskipun didukung oleh 99 dari 100. Ungkapan ini hanyalah tepat pada hal-hal yang ditetapkan oleh syari’at secara gamblang, tegas dan terang yang menyingkirkan perselisihan dan tidak mengandung perbedaan atau menerima pertentangan, dan hal itu hanya sedikit sekali. Itulah yang dikatakan Jama’ah itu adalah yang sejalan dengan kebenaran meski engkau hanya sendirian.[8]Sesungguhnya petaka pertama yang menimpa umat Islam dalam perjalanan sejarahnya adalah sikap mengabaikan terhadap kaidah musyawarah, dan perubahan “Khilafah Rasyidah” menjadi “kerajaan penindas” yang oleh sebagian sahabat disebut “kekaisaran”. Artinya, kekuasaan absolut Kaisar telah berpindah kepada kaum muslimin dari berbagai kerajaan yang telah diwariskan Allah ke­padanya. Padahal semestinya mereka mengambil pelajaran dari mereka dan menghindari berbagai kemaksiatan dan perbuatan hina yang menjadi sebab musnahnya negara yang menimpa Islam, umatnya, serta dakwahnya di zaman modern ini tidak lain adalah akibat dari pemberlakuan pemerintahan otoriter yang bertindak sewenang wenang terhadap umat manusia dengan menggunakan pedang kekuasaan dan emas­nya, dan tidaklah syari’at dihapuskan, skularisme diterapkan, serta umat manusia diharuskan berkiblat ke barat melainkan dengan paksaan, memakai besi dan api. Tidaklah dakwah Islam dan ge­rakannya dipukul habis-habisan serta tidak juga para penganut dan penyerunya dihajar dan dikejar-kejar melainkan oleh kekuasaan otoriter yang terkadang tanpa kedok dan terkadang dengan meng­gunakan kedok demokrasi palsu yang diperintahkan oleh kekuatan yang memusuhi lslam secara terang-terangan atau diarahkan dari balik layar.”[9]Di sini saya Dr. Yusuf al-Qaradhawi perlu menekankan, bahwa saya bukan termasuk orang yang suka menggunakan kata-kata asing, seperti misalnya; demokrasi dan lain-lainnya untuk mengungkapkan pengertian-pengertian jika suatu istilah telah menyebar luas di tengah-tengah umat manusia dan telah dipergunakan oleh banyak orang, maka kita tidak perlu menutup pendengaran kita darinya, tetapi kita harus mengetahui maksud istilah tersebut, sehingga kita tidak me­mahaminya secara keliru, atau mengartikannya secara tidak benar atau yang tidak dikehendaki oleh orang-orang yang membicarakannya, dengan begitu hukum kita terhadapnya adalah hukum yang benar dan seimbang. Meski istilah itu datang dari luar kalangan kita, hal itu tidak menjadi masalah. Sebab, poros hukum itu tidak pada nama dan sebutan, tetapi pada kandungan dan substansinya.”[10]Saya Dr. Yusuf al-Qaradhawi termasuk orang yang menuntut demokrasi dalam posisinya sebagai sarana yang sangat mudah dan teratur untuk merealisasikan tujuan kita dalam kehidupan yang mulia, yang di dalamnya kita bisa berdakwah kepada Allah dan juga kepada Islam, sebagaimana kita telah beriman kepadanya, tanpa harus dijebloskan ke dalam penjara yang gelap atau dihukum di atas tiang gantungan.”[11]Berkenaan dengan hal tersebut, dapat penulis katakan “Dr. Yusuf al-Qaradhawi telah dengan sekuat tenaga membela demokrasi dalam menghadapi pemerintahan otokrasi atau pemerintahan tirani yang berbagai keburukan dan kesialannya telah dirasakan oleh al-Qaradhawi dan Jama’ah Ikhwanul Muslimin. Oleh karena itu, Dr. Yusuf al-Qaradhawi berusaha keras mempertahankan demokrasi dengan segenap daya dan lebih baik dilakukan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi adalah, menegakkan hukum Islam yang di dalamnya terdapat konsep musyawarah Islami yang sudah cukup bagi kita dan tidak lagi memerlukan demokrasi ala Barat meskipun kita memolesnya dengan berbagai kebaikan dan kita menyaring demokrasi ini, lalu menambahkan bebe­rapa hal yang sesuai dengan agama kita atau mengurangi beberapa hal darinya yang memang bertentangan dengan agama, lalu mengapa kita harus menyebutnya demokrasi? Mengapa tidak menyebutnya syura permusyawaratan demikian, demokrasi Barat tidak disebut demikian kecuali diambil dengan seluruh kandungannya. Tetapi, jika diambil dengan melakukan penyesuaian, perubahan dan penyimpangan, maka hal itu secara otomatis menjadi sesuatu yang lain yang tidak mungkin kita sebut lagi sebagai demokrasi. Dalam hal ini, perum­pamaannya adalah sama dengan khamr jika rusak dengan sendirinya atau tindakan seseorang, maka pada saat itu tidak lagi disebut se­bagai khamr, tapi disebut cuka. Demikian pula yang harus dilakukan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi adalah menyeru kepada penegakan hukum Islam dengan menerap­kan sistem syura permusyawaratan yang adil, daripada mengobati suatu penyakit dengan penyakit lain, yang bisa jadi lebih berbahaya lagi bagi umat.[12]KOMENTAR JAMAL SULTHAN ATAS FATWA DR. YUSUF AL-QARADHAWI. Ustadz Jamal Sulthan hafizhahullah mempunyai komentar yang sangat baik terhadap fatwa Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam hal demokrasi. Di sini saya bermaksud untuk menukilnya agar bisa diambil manfaat oleh para pembaca, dan agar para pembaca mengetahui titik-titik ketidakbenaran dari ucapan Dr. Yusuf al­ Sulthan mengatakan “Masalah ini sangat penting sekali, dan ketika yang mengungkapkannya adalah seorang pakar fiqih sekaliber Dr. Yusuf al-Qaradhawi, maka masalahnya semakin bertambah penting, belum lagi mimbar yang menjadi tempat penyebaran fatwa yang dibaca tidak kurang dari satu juta orang berbahasa Arab. Maka pada saat itu, tidak diragukan lagi bahayanya akan lebih besar, dan dia mempromosikan dirinya kepada setiap penulis dan pemilik dalam format yang disebarluaskan tidak mempunyai tema sama sekali dan hampir tidak mempunyai nilai sama sekali, cukuplah bagi anda ketika anda dihadapkan suatu ungkapan yang anda bisa mengatakan “itu benar,” bersikap sama seperti halnya ketika anda tidak bisa mengatakan “Itu salah!” Namun, sesung­guhnya di sana ada suatu kerancuan yang aneh, dan beberapa hakikat obyektif dan histroris yang tidak diketahui Dr. Yusuf al-Qaradhawi, menyebabkan pembicaraannya terjadi kekeliruan, yang menuntut saya mengkaji cukup lama untuk mendiskusikan “segi dan pertim­bangan” fatwa dengan mengharapkan keluasan hati pemberi fatwa tersebut, dan kita tahu kesungguhan beliau untuk memperoleh kejelasan kebenaran, dimana pun berada serta perhatiannya yang tulus insya Allah terhadap berbagai masalah besar yang membuat sibuk generasi muslim pada zaman sekarang fatwa tersebut ditanyakan, sebagaimana yang ditegas­kan oleh Ustadz Fahmi “Apakah demokrasi itu kufur?” Maka, Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi membuka pembicaraannya dengan mengatakan “Sesungguhnya substansi demokrasi adalah memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih orang yang akan mengurus dan mengendalikan urusan mereka, sehingga mereka tidak dipimpin oleh penguasa yang tidak mereka sukai, atau diatur oleh sistem yang mereka benci. Selain itu, mereka juga harus mempunyai hak menilai dan mengkritik jika penguasa melakukan kesalahan, juga hak opsi jika penguasa melakukan penyimpangan. Rakyat tidak boleh digiring kepada aliran atau sistem ekonomi, sosial, kebudayaan, atau politik yang tidak mereka kenal dan tidak pula mereka setujui, dan itulah substansi demokrasi.”Kemudian Dr. Yusuf al-Qaradhawi menambahkan seraya mengomentari “Realitas menunjukkan, bahwa orang yang memperhatikan secara seksama substansi demokrasi, maka dia akan mendapatkan bahwa ia termasuk dari konsep Islam”Pendahuluan inilah yang menjadi kesalahan pertama dan substansial yang mengakibatkan fatwanya salah secara Yusuf al-Qaradhawi telah menetapkan, bahwa substansi demokrasi adalah pemberian kesempatan kepada rakyat untuk memilih pemimpin mereka… dan seterusnya. Inilah salah satu produk pokok dari berbagai produk demokrasi atau salah satu tampilan dari berbagai penampilan demokrasi, tetapi itu bukan substansi demokrasi, sebagaimana yang dianggap oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi. Namun, demokrasi secara substansial adalah penolakan terhadap teokrasi, yaitu sistem pemerintahan berdasarkan kekuasaan agama dan menjalankan pemerintahan atas nama Allah di muka bumi. Kelahiran demokrasi itu menurut perjalanan sejarahnya adalah sebagai akibat dari pertikaian negara melawan gereja, hukum buatan manusia melawan hukum agama, hukum atas nama rakyat dan manusia melawan hukum atas nama Allah dan kata lain, kita bisa katakan bahwa demokrasi itu adalah sisi lain dari sekularisme, dan di antara dampaknya demokrasi adalah meniadakan perwalian masing-masing individu umat manusia dari pundak masyarakat. Sebab, jika kita menolak perwalian agama dan Tuhan untuk kepentingan rakyat, maka semua perwalian di bawahnya sudah pasti akan tertolak. Dari sini lahirlah berbagai sarana dan sistem yang mengatur seluk beluk masyarakat, yang mencegah munculnya kekerasan, penindasan dan kesewenangan dalam bentuk apa pun, dan itu berlangsung setelah negara sipil dengan para pemikir dan pendukungnya berhasil merealisasikan kemenangan akhir atas gereja dan para tokoh agama serta berhasil mencopot kekuasaan dari mereka, seperti yang diketahui oleh setiap pengkaji sejarah Eropa antara dampak dari kemenangan akhir bagi gerakan demokrasi ini adalah terhapusnya sifat kesucian dari semua posisi, masalah dan makna, selama tidak ditetapkan oleh rakyat sebagai sesuatu yang suci. Yang haram adalah apa yang menurut pendapat mayoritas orang sebagai haram, sedangkan yang halal adalah apa yang menurut pendapat mayoritas orang sebagai halal, dengan menutup mata dari setiap referensi yang lain, baik yang bersifat religius maupun yang lainnya. Sebab, jika anda menetapkan bahwa di sana terdapat referensi syari’at yang berada di atas manusia atau harus didahulukan sebelum pendapat rakyat, maka dengan demikian anda telah menggugurkan dasar demokrasi. Karena, jika anda mengatakan, misalnya “Sesungguhnya masalah ini berdasarkan nash al-Qur’an, tidak boleh dilakukan oleh manusia, maka dengan demikian, anda telah menjadikan hukum hanya pada Allah Ta’ala semata, bukan ada pada rakyat. Selama kekuasaan dan hukum ditarik dari rakyat, maka berakhirlah kisah demokrasi itulah kisah demokrasi secara ringkas dan ini pula yang menjadi substansinya, yang diketahui secara pasti oleh Ustadz Fahmi Huwaidi dan aliran pemikirannya. Dengan demikian, apakah kita bisa mengatakan seperti yang dikatakan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi “Barangsiapa yang memperhatikan secara seksama terhadap substansi demokrasi, niscaya dia akan mendapatkan bahwa demokrasi termasuk dari konsep Islam”. Atau kita akan mengatakan seperti yang dikatakannya pula “Islam telah mendahului demokrasi dengan menetapkan kaidah-kaidah yang menjadi dasar pijakan bagi substansinya, hanya saja Islam menyerahkan rincian­nya pada ijtihad kaum muslimin sesuai dengan ajaran agama mereka, kepentingan dunia mereka, serta perkembangan kehidupan mereka”Yang tampak jelas sekali dari fatwa Dr. Yusuf al-Qaradhawi adalah, bahwa dia menggambarkan demokrasi dengan gambaran tertentu yang dia angan-angankan dan impikan, lalu dia mengeluarkan fatwanya berdasarkan pada khayalan yang mempermainkan angan-angannya, bukan pada hakikat sejarah demokrasi dan obyek­tivitas yang membentuk istilah demokrasi dalam pemikiran manusia hal yang sangat jelas menunjukkan hal tersebut adalah ungkapan Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam fatwanya “Dan ungkapan orang yang mengatakan bahwa demokrasi berarti pemerintahan yang kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, sehingga ada keharusan menolak prinsip yang menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan Allah, adalah ungkapan yang sama sekali tidak dapat diterima, karena menyuarakan demokrasi tidak harus menolak kekuasaan tertinggi berada di tangan Allah atas semua umat manusia. Saya yakin hal seperti itu tidak pernah terbersit di dalam hati mayoritas penyeru demokrasi. Tetapi yang menjadi konsentrasi mereka adalah menolak kediktatoran yang sewenang-wenang, serta menolak pemerintahan yang menindas rakyat, baik itu penguasa zhalim maupun diktator.”Sebenarnya, saya Jamal Sulthan belum memahami benar ungkapan Dr. Yusuf al-Qaradhawi yang menyatakan “Hal seperti itu tidak pernah terbersit di dalam hati mayoritas penyeru demokrasi. Tetapi, yang menjadi konsentrasi mereka adalah menolak kediktatoran yang sewenang-wenang, serta menolak pemerintahan otoriter terhadap rakyat.” Apakah dia pernah melakukan penelitian yang menghasilkan hakikat tersebut? Jika lawannya mengatakan “Sesungguhnya hal itu selalu terbersit di dalam hati mayoritas penyeru demokrasi,” lalu siapa yang akan menilai dan membenarkan salah satu dari kedua ungkapan tersebut ?Sesungguhnya fatwa syari’at memerlukan adanya ketelitian dan keakuratan dalam ucapan, lebih dari sekedar ungkapan yang hanya dilandasi perasaan misalnya “Saya yakin hal seperti itu tidak pernah terbersit” dst..ed. Saya sangat memaklumi Dr. Yusuf al­Qaradhawi dalam hal kesungguhannya mempertahankan nilai­nilai keadilan, kebebasan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia serta kehormatan mereka. Dalam hal itu, orang seperti dia dan saya mengetahui betapa kejam cambuk-cambuk para algojo, dan betapa menyeramkannya pula penjara para penindas. Namun demikian, pembicaraan masalah keadilan, kebebasan dan hak-hak asasi manusia merupakan suatu hal, sedangkan pengaturan istilah pemikiran politik untuk memberlakukan hukum syari’at terhadapnya merupakan hal lain. Sebagaimana realitas terus berada seperti sediakala tidak berubah seperti yang saya duga. Kita perlu juga merenungi ucapan Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi “Orang muslim yang menyerukan demokrasi pada hakikatnya menyeru kepadanya sebagai satu bentuk pemerintahan, yang dapat mewujudkan prinsip-prinsip politik Islam dalam pemilihan pemimpin, penetapan musyawarah dan loyalitas, serta penegakan amar ma’ruf nahi munkar, melawan kezhaliman, menolak kemaksiatan, khususnya jika sampai pada kekufuran yang jelas yang telah ada bukti dari Allah.”Di sini, saya setuju sekali dengan Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengenai kriteria yang dikemukakannya mengenai manhaj bagi pemerintahan Islam. Tetapi, apakah yang mendorong anda untuk meletakkan stempel demokrasi pada perbincangan ini dan manhaj tersebut? Apakah sebenarnya kesucian yang dikandung oleh istilah “buatan Barat, perkembangan, sejarah dan pertikaiannya” untuk anda pertahankan dengan mati-matian dan memperindah penampilannya di hadapan kaum muslimin? Hal itu mengingatkan kita terhadap apa yang meliputi akal pikiran kaum muslimin pada tahun lima puluhan dan enam puluhan sekitar istilah “sosialisme “, sehingga mereka menjadikan sosialisme dan Islam dua sisi satu mata uang. Pengalaman yang sama juga kembali terjadi sekali lagi pada istilah demokrasi bukan apa yang anda rinci berdasarkan analogi Anda sendiri, atau dirinci oleh orang lain. Tetapi demokrasi merupakan satu kesatuan sistem untuk memelihara bangunan sosial. Terserah anda mau menerimanya atau menolaknya, lalu mencari manhaj lain yang melahirkan bagi anda satu istilah lain yang orisinil yang sesuai dengan `aqidah, agama, sejarah dan kemanusiaan kita boleh menerima istilah tersebut disertai dengan beberapa penyesuaian terhadapnya agar sejalan dengan lingkungan kita, lalu bagaimana pendapat anda mengenai istilah teokrasi, atau yang disebut dengan “pemerintahan berdasarkan ketuhanan”. Kita hanya akan menjauhkan diri dari monopoli para tokoh agama terhadap kekuasaan atas nama perwakilan langit sebagaimana yang diketahui oleh sejarah gereja Eropa, dan tinggallah bagi kita, yaitu menjadikan hukum Allah yang berkuasa atas umat manusia dan membatasi perundang-ungangan masyarakat. Pada saat itu, apakah kita bisa mengatakan bahwa substansi teokrasi yaitu “hukum Allah” adalah Islam?!Dengan tolok ukur yang sama, jika anda mengatakan “Sesungguhnya demokrasi itu dari Islam,” maka dibenarkan pula untuk mengatakan “Sesungguhnya teokrasi itu dari Islam!!!”Sedangkan kita akan mengatakan “Sesungguhnya demokrasi dan teokrasi, keduanya adalah istilah Eropa yang lahir dan terbentuk serta menunjukkan budaya Barat, hal itu tidak memberikan manfaat bagi kita sebagai kaum muslimin. Sebab, Islam tidak mengenal pemerintahan pemuka agama, sebagaimana Islam juga tidak mengenal istilah “surat penebus dosa”, dan tidak pula mengenal istilah pertikaian antara negara sipil dan gereja, atau antara agama dan negara. Karena, Islam sebagai agama, sejarah, dan kebudayaan berbeda dari Kristen sebagai agama, sejarah, dan kebudayaan. Hal itu memperlihatkan kepada kita secara pasti perbedaan berbagai istilah pemikiran, politik, dan metodologi antara keduanya Islam dan Kristen.Permasalahannya di sini adalah, bahwa sebagian kaum muslimin berkhayal bahwa hak-hak asasi manusia, keadilan, kebebasan, hak suksesi kekuasaan dan larangan melakukan penindasan di muka bumi merupakan hal-hal yang diperjuangkan oleh sistem demokrasi bagi masyarakat, di mana tidak mungkin bagi mereka untuk menggambarkan prinsip-prinsip ini dapat terealisasi di bawah payung istilah lain dalam Islam. Yang demikian itu merupakan satu kesalahan yang sangat berbahaya. Sesungguhnya hak-hak dan prinsip-­prinsip kemanusiaan itu hanya sekedar dampak dari kelahiran sekulerisme atau demokrasi di masyarakat Eropa. Bersamaan dengan itu mungkin juga memproduksinya, memeliharanya, dan memberlakukannya di masyarakat lain tanpa melalui jalan sekularisme atau dominasi pemikiran Barat atas berbagai aliran pemikiran dan politik dalam masyarakat kontemporer, dan tirani yang ditanamkan oleh Eropa ke dalam akal dan jiwa masyarakat dunia ketiga yang di antara mereka adalah sebagian kaum muslimin, tidak meninggalkan sedikit kesempatan pun bagi akal non-Eropa untuk memikirkan orisinalitas atau mengkhayalkan karya pemikiran atau metodologis yang tidak terpengaruh oleh “kutub Eropa”, serta berbagai manhaj dan istilahnya. Maka sebagian besar usaha-usaha “dunia ketiga” dalam bidang pemikiran, metodologi dan istilah -yang di antaranya adalah fatwa ini-, hanyalah sekedar catatan kaki atau catatan akhir atas matan isi yang berasal dari Eropa. Padahal kita -di lingkungan Islam-, hati nurani Islami menolak kecuali mencatat sikap kehati-hatiannya yang malu-malu itu terhadap demokrasi, sedangkan berpura-pura tidak mengetahui bahwa sikap kehati-hatian itu bermakna pada kenyataan obyektifnya sebagai penolakan terhadap demokrasi, tetapi kita masih terus ngotot untuk mempertahankan istilah tersebut, meskipun pada hakikatnya, secara obyektif, telah Partai Kupu-Kupu Itali -Partai para pelacur- ­memaksakan dirinya masuk ke dunia partai, dan sebagian anggotanya masuk parlemen Itali, agar “suara pelacur” cukup untuk membuat berbagai ketetapan undang-undang baru di dalam masyarakat, jika semua suara tidak mau diakui oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi adalah, bahwa Partai Kupu-Kupu ini mengaspirasikan hak demokrasinya. Jika anda menolak keberadaannya atau menolak masuknya ke parlemen atau menolak keikutsertaannya dalam penghitungan dengan suara anggotanya, maka anda tidak demokratis, dan tindakan ini melawan demokrasi. Itulah hakikat obyektif, yang tidak ada alasan bagi anda terhadapnya, serta tidak ada tempat melarikan diri dari bahwa anda menolak hal tersebut, dan saya pun demikian. Tetapi, makna hal itu adalah bahwa kita menolak demokrasi sebagai bingkai sistem bagi pemerintahan di suatu negara Islam. Tinggallah bagi saya dan anda mencarikan istilah baru dan sistem baru, yang menyatukan antara agama dan dunia, syari’at dan masyarakat, keadilan dan moral, kebebasan dan nilai-nilai, hak Allah dan hak hamba, dan semuanya itu adalah aspek-aspek yang tidak mempunyai hubungan dengan anda merasa kesal tuanku Dr. Yusuf al-Qaradhawi, jika masyarakat Barat menolak mengakui istilah dan sistem baru anda. Karena mereka memang menolak agama anda pada dasarnya, sebagaimana logika subyektif dari sistem demokrasi yang mengatur kehidupannya, mengharuskannya menerima pluralisme. Yang demikian itu, jika kita berhusnuzhzhan berprasangka baik terhadap kesungguhan mereka dalam memegang segala macam prinsip, apalagi yang menyangkut masalah hubungan antar fatwa Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi tentang demokrasi, masih terdapat kerancuan lain, yaitu dalam usahanya melegitimasi beberapa sisi kekuasaan eksekutif dalam menerapkan demokrasi, di mana sang Doktor mempromosikannya kepada pemahaman beberapa pemerintah Islam. Lebih baiknya, kita simak apa yang dikatakan Doktor, kemudian simak juga komentar kami setelah Yusuf al-Qaradhawi mengatakan “Di antara dalil-dalil menurut kelompok pemerhati Islam yang menunjukkan demokrasi adalah prinsip hasil import dan tidak ada hubungannya dengan Islam, adalah bahwa ia berdasarkan pada suara mayoritas, serta menganggap suara terbanyak merupakan pemegang kekuasaan dalam menjalankan pemerintahan dan mengendalikan berbagai permasalahan, dan dalam menilai serta memutuskan benar terhadap salah satu dari berbagai masalah yang berbeda-beda dengan meng­gunakan pemungutan suara terbanyak dalam demokrasi sebagai pemutus dan referensi. Maka, pendapat mana pun yang memenangkan suara terbanyak secara absolut, atau terbatas pada beberapa kesempatan, itulah pendapat yang diberlakukan, meskipun terkadang pendapat itu salah dan Islam tidak menggunakan sarana seperti itu dan tidak mentarjih mengunggulkan suatu pendapat atas pendapat yang Iain karena adanya kesepakatan pihak mayoritas, tetapi Islam melihat pada pokok permasalahan tersebut; Apakah ia salah atau benar? Jika benar, maka ia akan memberlakukannya, meskipun bersamanya hanya ada satu suara, atau bahkan sama sekali tidak ada seorang pun yang menganutnya. Jika salah,. maka ia akan menolaknya, meskipun bersamanya terdapat 99 orang dari 100 orang yang nash-nash al-Qur’an menunjukkan bahwa suara mayoritas selalu berada dalam kebathilan dan selalu mengiringi para Thaghut, sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah Ta’ala iniوَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di­muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan-Nya.”[Al-An’aam/6 116]Juga firman-Nyaوَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ“Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya” [Yusuf/12 103]Di dalam al-Qur’an, dilakukan pengulangan berkali-kali terhadap firman-Nya berikut iniوَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ“Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” [Al-­A’raaf/7 187]Selanjutnya, Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi menambahkan seraya mengomentari hal tersebut dengan mengatakan “Ungkapan tersebut sama sekali tidak dapat diterima, sebab didasarkan pada suatu hal yang salah”Seharusnya kita perlu membicarakan tentang demokrasi di dalam masyarakat muslim; yang mayoritas mereka dari kalangan orang orang yang berpengetahuan, berakal, beriman lagi bersyukur. Kita tidak hendak membicarakan tentang masyarakat kaum atheis atau kaum yang sesat dari jalan AllahKemudian, sesungguhnya terdapat beberapa hal yang tidak masuk ke dalam kategori voting dan tidak dapat diambil suaranya, karena ia termasuk bagian dari hal yang sudah tetap dan permanen yang tidak dapat diubah kecuali jika masyarakat itu berubah sendiri dan tidak menjadi muslim tidak ada tempat bagi voting dalam berbagai ketetapan syariat yang sudah pasti dan juga pokok-pokok agama. Voting itu hanya pada masalah-masalah ijtihad saja yang bisa mencakup lebih dari satu pendapat. Sudah menjadi kebiasaan manusia untuk berbeda pendapat mengenai hal tersebut, jika terdapat berbagai pendapat yang berbeda-beda mengenai beberapa masalah. Lalu, apakah masalah-masalah itu akan dibiarkan bergantung begitu saja? Dan apakah ada pemilihan pendapat tanpa adanya yang diunggul­kan? Ataukah perlu adanya yang diunggulkan?Logika akal, syari’at dan realitas menyatakan perlu adanya orang yang dimenangkan. Yang diutamakan pada saat terjadi perbedaan pendapat adalah jumlah mayoritas. Sebab, pendapat dua orang itu lebih mendekati kebenaran daripada pendapat satu orang. Dalam hadits pun sudah ditegaskan ,”Sesungguhnya, syaitan itu bersama satu orang dan dia syaitan lebih jauh dari dua orang.”Ditegaskan pula, bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Abu Bakar dan `Umar radhiallahu `anhuma “Jika kalian bersatu dalam suatu musyawarah, niscaya aku tidak akan menentang kalian berdua.”Demikian yang diungkapkan oleh Dr. Yusuf Dr. Yusuf al-Qaradhawi di atas memerlukan adanya perincian, karena di dalamnya terdapat kerancuan dan beberapa hal yang saya merasa heran karena Dr. Yusuf al-Qaradhawi menempatkan pendapat lawan-lawannya yang menurutnya tidak benar dengan membuka ucapannya bahwa mereka berpendapat “Demokrasi adalah ajaran yang diimport dari Barat dan tidak mempunyai hubungan dengan Islam”-Apakah Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengetahui bahwa demokrasi merupakan ajaran yang tidak diimport? Dan bahwasanya demokrasi merupakan prinsip dasar yang lahir dan tumbuh di dalam buaian sejarah Islam disertai berbagai perubahan peradaban, manhaj, agama dan politik? Lalu kapan hal itu terjadi? Di zaman apa, jika dihitung dari sejak diutusnya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sampai pertengahan abad ke-19? Kapan Eropa mengimport demokrasi dari kaum muslimin? Serta apakah rahasia-rahasia yang terdapat dalam peristiwa bersejarah dan menghebohkan itu yang tidak diketahui oleh seantero bumi selama kurun waktu yang begitu panjang?Saya kira, Dr. Yusuf al-Qaradhawi tidak seharusnya membuka ucapannya dengan kalimat tersebut. Sebab, siapa pun dari kaum muslimin tidak akan dapat mengaklaim bahwa demokrasi itu merupakan ajaran yang tidak diimport dari sistem Eropa. Sesungguhnya yang menjadi perbedaan pendapat adalah sikap Islam terhadap demokrasi itu. Ini yang pertama!Adapun ungkapan Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi “Seharusnya kita perlu membicarakan tentang demokrasi di dalam masyarakat muslim, yang mayoritas mereka dari kalangan orang­orang yang berpengetahuan, berakal, beriman lagi bersyukur. Kita tidak hendak membicarakan tentang masyarakat kaum atheis atau kaum yang sesat dari jalan Allah.”Yang demikian itu secara obyektif adalah kesalahan yang jelas. Sebab, demokrasi tidak mempersoalkan identitas, keimanan, kekufuran dan jenis nilai yang dibawa oleh seseorang, karena semuanya itu sama, baik itu orang alim yang bertindak sewenang-­wenang, Muslim dan Nasrani. Jika saya katakan “Bahwa hak menerapkan demokrasi di masyarakat muslim tergantung pada orang muslim yang taat beragama, dan tidak masuk di dalamnya orang yang tidak taat beragama atau yang mempunyai identitas tidak jelas atau pemeluk Nasrani, Yahudi atau Atheis. Maka, artinya anda telah berbicara tentang sistem lain dan manhaj yang lain pula. Jelas, itu bukan lagi demokrasi.”Demikian juga dengan ungkapan Syaikh Dr. Yusuf ai-Qaradhawi “Kemudian, di sana terdapat beberapa masalah yang tidak masuk ke dalam voting dan tidak pula diperlukan pemungutan suara terhadapnya, karena semua itu merupakan bagian dari hal­-hal yang sudah baku dan tidak dapat dilakukan perubahan, kecuali jika masyarakat itu mengalami perubahan sendiri dan tidak menjadi muslim lagi”Perbedaan yang dianggap aneh oleh Syaikh Dr. Yusuf al­Qaradhawi di sini adalah bahwa suatu masyarakat, jika mengalami perubahan dan tidak menjadi muslim lagi, maka dimungkinkan menjadi masyarakat yang demokratis. Tetapi, jika masih tetap menjadi masyarakat muslim, maka dapat dipastikan ia tidak akan demokratis, karena mempunyai sistem lain berupa hal-hal yang sudah baku, `aqidah dan nilai-nilai yang tidak mungkin untuk di­tundukkan pada pendapat sini, kita kembali lagi kepada pokok kesalahan pada konsepsi Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi terhadap wujud dan substansi demokrasi. Di dalam demokrasi, rakyat merupakan tempat kembali sekaligus penguasa, pembuat ketetapan, dan penentu satu-satunya. Jika anda mengatakan, bahwa di sana terdapat beberapa hal yang tidak akan dapat ditundukkan pada voting atau tidak masuk pada ruang voting, maka dengan demikian anda tidak demokratis. Jika anda mengatakan, bahwa di sana terdapat beberapa hal pasti dan permanen, baik yang menyangkut masalah pemikiran, agama, moral, ekonomi atau politik yang tidak akan dapat diubah, maka pada saat itu anda juga tidak juga ungkapan Dr. Yusuf al-Qaradhawi “Jadi , tidak ada ruang voting dalam berbagai ketetapan syari’at yang sudah pasti,” maka ungkapan itu pun sama sekali tidak demokratis. Sebab, pengakuan anda bahwa di sana terdapat syari’at yang memerintah di atas kehendak dan kemauan manusia, maka yang demikian itu sebagai pukulan telak terhadap isi dan substansi sekarang gambarannya sudah menjadi jelas dalam pandangan Dr. Yusuf al-Qaradhawi, Fahmi Huwaidi dan alirannya? Saya sependapat dengan mereka dalam setiap ketentuan, batasan dan bingkai yang diberikan oleh Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi bagi politik masyarakat muslim, tetapi kesalahan mendasar adalah mereka menolak -dan saya tidak tahu mengapa- kecuali dengan meletakkan simbol demokrasi pada manhaj Allah dan sistem politik Islam. Apakah mereka menyangka, bahwa mereka telah memperindah Islam dan manhajnya dengan tindakannya meletakkan slogan hasil impor dari Barat ini?Sesungguhnya Islam, wahai para sahabatku, lebih baik, lebih tinggi, suci dan lebih lurus dari demokrasi dan dari segala konsep buatan manusia untuk mengatur politik masyarakat. Demi Allah, saya katakan itu tidak hanya sekedar untuk membela agama, atau sekedar militansi iman, tetapi yang demikian itu merupakan keyakinan yang teguh dari perjalanan panjang selama melakukan kajian, pertimbangan dan perenungan perhatian terhadap ber­bagai perubahan sejarah kemanusiaan terdahulu maupun modern sekarang sekalian, sesungguhnya dengan demikian itu kalian telah menimbulkan kegoncangan, keraguan dan kerancuan berpikir dalam otak dan hati nurani generasi muda pemegang panji kebang­kitan Islam yang diharapkan kalian tidak mencari suatu pemikiran orisinil konstruktif yang berasal dari Islam, yang dengannya kalian membina proyek Islam yang fundamental untuk kebangkitan dan untuk mengatur aktivitas sosial Islami yang baru? Apakah tugas seorang ahli fiqih atau pemikir muslim sekarang ini harus menunggu produk dari Barat, baik pemikiran maupun materi, untuk ditempelinya dengan label tradisional “Disembelih dengan cara Islami?”Wahai saudaraku, apakah Islam tidak mengenal sistem, masyarakat, peradaban, teori-teori politik dan pola-pola manajemen sebelum munculnya demokrasi? Dan apakah Islam serta masyarakat­nya tidak mengetahui keadilan, kasih sayang, kebebasan, pencerahan, peradaban, permusyawaratan, pluralitas pemikiran dan paham, dan lain-lainnya, sebelum menculnya demokrasi?Jika Islam mengetahui semuanya itu, maka beritahukan hal itu kepada kami, lalu kembalikan bentuk dan formatnya, lalu kembangkanlah sistem dan kelembagaan, telitilah aturan-aturan dan sarana untuk merealisasikannya, serta lahirkanlah apa yang kalian butuhkan darinya berupa istilah-istilah orisinil dan simbol-simbol Islami, yang mengekspresikan keistimewaan manhaj Islam dalam pemerintahan, daripada melakukan penjiplakan pemikiran, paham, dan istilah yang hina dan memalukan di hadapan kancah pemikiran Eropa Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi, demokrasi dan sekularisme merupakan dua sisi mata uang Eropa. Orang yang mengatakan selain itu kepada Anda, berarti dia telah membohongi Anda. Dalam pandangan Islam, kedua hal tersebut demokrasi dan sekularisme ditolak. Tetapi penolakan terhadap keduanya tidak berarti kita menolak sebagian dari produknya yang hampir menyerupai nilai-nilai Islam. Merupakan hak rakyat untuk memilih pemimpin atau penguasa dan hak mereka pula untuk melengserkannya jika menyimpang, atau mempertanyakan kepadanya jika melakukan kesalahan, juga mempunyai kebebasan berpendapat, hak berbeda pendapat, menjaga kehormatan manusia, hak perputaran kekuasaan, dan lain-lainnya. Semuanya itu merupakan pilar pilar pokok manhaj Islam dalam pemerintahan yang ditetapkan melalui nash Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, akan tetapi semuanya itu merupakan pilar-pilar yang berdiri di atas dasar-dasar idealis dan aqidah, yang diatur oleh ketentuan-ketentuan dan bingkai-­bingkai sistematis, yang berbeda total dari dasar-dasar dan ketentuan-­ketentuan yang dimainkan oleh demokrasi sebagai sistem bagi politik masyarakat Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi, bukan itu peranan Anda dan bukan itu pula problema Anda, semuanya itu merupakan tindakan ninabobo yang dimunculkan oleh para propagandis pencerahan yang mempunyai pemikiran berlebihan, yang mereka tidak mengemban tanggung jawab dan kebangkitan umat, mereka tidak mengetahui nilai agama mereka, juga tidak memahami bahwa mereka mengemban risalah Islam bagi seluruh alam Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi, fatwa Anda telah menyebar ke seluruh belahan bumi, yang telah dibaca dan diketahui oleh sebagian besar kaum terpelajar. Saya meminta kepada Anda dengan penuh kesungguhan, “agar Anda menjelaskannya bagi umat manusia dan tidak menyembunyikannya,” supaya mencermati kembali apa yang telah Anda tetapkan dalam masalah ini. Jika Anda mendapatkan kesalahan pada fatwa Anda, maka jelaskan kesalahan itu kepada umat manusia. Anda mestinya lebih adil daripada sekedar menolak kebenaran jika Anda mengetahuinya. Jika apa yang saya katakan itu salah atau menyimpang, Jelaskanlah kepada saya dan kepada umat manusia, mudah-mudahan Allah memberikan kita petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini. Segala puji bagi Allah pada permulaan dan akhirnya, dan tidak ada daya dan upaya melainkan dari Allah semata”[13]Perlu penulis katakan “Oleh karena Dr. Yusuf al-Qaradhawi percaya kepada demokrasi, maka sesungguhnya tidak diragukan lagi bahwa dia akan percaya terhadap segala resikonya, yaitu mun­culnya berbagai partai yang bersaing untuk kekuasaan”DR YUSUF AL-QARADHAWI MEMBOLEHKAN BERDIRINYA LEBIH DARI SATU PARTAI DI NEGARA ISLAM Dalam hal ini, Dr Yusuf al-Qaradhawi mengatakan “Pendapat saya yang telah saya suarakan dari sejak beberapa tahun yang lalu dalam berbagai ceramah umum dan pertemuan khusus adalah, bahwasanya tidak ada larangan syari’at tentang adanya lebih dari satu partai politik di negara Islam, karena larangan syari’at itu pasti membutuhkan adanya nash, dan ternyata tidak ada multi partai ini bisa jadi merupakan suatu hal yang penting pada zaman sekarang ini, sebab ia berperan sebagai katup pengaman dari kediktatoran seseorang atau kelompok tertentu yang berkuasa dan penindasannya terhadap manusia, atau hilangnya kekuatan yang mampu mengatakan “Tidak” kepada manusia atau mengatakan “tidak” atau “Mengapa?” kepada penguasa. Sebagaimana hal itu telah ditunjukkan oleh catatan sejarah dan dibuktikan oleh persyaratan yang ditetapkan agar partai-partai mendapat legitimasi eksistensinya adalah dua hal penting, yaituHarus mengakui Islam, baik sebagai aqidah maupun syari’at serta tidak memusuhi atau menolaknya, meskipun partai-partai itu mempunyai ijtihad khusus dalam pemahamannya di bawah pancaran dasar-dasar pokok ilmiah yang telah berbuat untuk kepentingan kelompok-kelompok yang memusuhi Islam dan umatnya,. apapun nama dan dimanapun demikian, tidak ada satu partai pun boleh didirikan untuk menyeru kepada atheisme, leiberalisme atau anti agama, atau menyerang semua agama samawi secara keseluruhan, atau agama Islam pada khusunya, atau meremehkan kesucian Islam, baik itu aqidah, syari’at, Al-Qur’an maupun Nasbi Shallallahu alaihi wa sallam” [14]Perlu penulis katakan “Jika anda mensyaratkan bagi paartai-partai tersebut untuk mengakui Islam sebagai aqidah dan juga syari’at, tidak memusuhinya atau menolaknya, lalu apa alasan pendiriannya di bawah pemerintahan Islami yang menerapkan syari’at Allah? Karena tujuannya adalah satu, yaitu penerapan syari’at Allah, dan alhamdulillah, hak itu telah berhasil. Lalu, utuk apa lagi keberadaan partai-partai tersebut?Jika Dr Yusuf al-Qaradhawi mengatakan Paratai-partai ini mempunyai perbedaan cara dalam menangani dan mencari solusi bagi berbagai permasalahan beraneka ragam yang menghadang perjalanan negara Islam, baik itu yang bersifat sosial, ekonomi maupun politik”Menanggapi hal tersebut, dapat penulis katakan “Bahwa hal tersebut tidak mengharuskan pendirian partai-partai yang saling bertentangan yang masing-masing berusaha dengan segala macam cara untuk sampai pada kekuasaan. Cukup didirikan suatu majelis permusyawaratan yang bisa mencarikan jalan keluar yang sesuai bagi berbagai permasalahan negara”.Allah Ta’ala تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ“Dan janganlah kalian berbantah-bantahan, yang menyebabkan kalian menjadi gentar dan hilang kekuatan” [Al-Anfaal/8 46]Dia juga الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ“Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka terpecah menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka” [Al-An’aam/6 159]Partai-partai yang pendiriannya diinginkan oleh Dr Yusuf al-Qaradhawi merupakan faktor penting bagi timbulnya perpecahan umat, yang membawa dan menyebarkan beragam pertikaian dan permusuhan serta persaingan duniawi, jika tidak sampai kepada saling ungkapan Dr Yusuf al-Qaradhawi mengenai beberapa persyaratan atas berdirinya partai ”Yaitu, harus mengakui Islam sebagai aqidah maupun syari’at serta tidak memusuhi atau menolaknya, meskipun partai-partai itu mempunyai ijitihad khusus dalam pemahamannya,” maka berarti dia mengisyaratkan kepada para pelaku bid’ah dari kalangan Syi’ah Rafidhah, ibadhiyah, dan semisalnya yang akan diperkenankan mendirikan partai-partai di bawah naungan negara. Dr Yusuf al-Qaradhawi akan menutup mata dari bid’ah yang mereka buat dan perbedaan mereka terhadap yang anda kira, wagau saudaraku, ketika pemerintahan negara Islam dipegang oleh partai penganut Syi’ah Rafidhah, dan apa akibatnya yang akan timbul karenanya?Sudah pasti akan terjadi seperti apa yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah “Syi’ah Rafidhah, jika mereka sudah menduduki jabatan, maka mereka akan mengangkat kaum kafir sebagai pemimpin dan memusuhi setiap orang muslim yang tidak sejalan dengan pendapat mereka” [15]Perlu penulis katakan “Bagi yang ingin mendapatkan tambahan informasi tentang berbagai dampak buruk dari pendirian partai-partai di negeri Islam, maka hendaklah dia membaca risalah Hukmul Intimaa, karya Syaikh Bakr Abu Zaid dan risalah Al-Hizbiyyah Maa Lahaa wa Maa Alaiha, karya Syaikh Abdul Majd Ar-Riimi.[Disalin dari kitab Al-Qaradhaawiy Fiil-Miizaan, Penulis Sulaiman bin Shalih Al-Khurasyi, Edisi Indonesia Pemikiran Dr. Yusuf al-Qaradhawi Dalam Timbangan, Penerjemah M. Abdul Ghoffar, Penerbit Pustaka Imam Asy-syafi’i, Po Box 147 Bogor 16001, Cetakan Pertama Dzulqa’dah 1423 H/Januari 2003] _______ Footnote [1]. Al-Huluul al Mustaurida hal. 77, 78. [2]. Fataazva’Mu’aashirah II/637. [3]. Ibid II/643. [4]. Ibid II/644-645 [5]. Ibid II/646. [6]. HR. At-Tirmidzi, dalam al-Fitan dari `Umar 2166. [7]. Fataawa’ Mu’aashirah II/647-648. [8]. Ibid II/649. [9]. Ibid II/649. [10]. Ibid II/650. [11]. Ibid II/650. [12]. Bagi yang berminat menambah pengetahuan tentang masalah demokrasi ini sekallgus mengetahui sisi-sisi negatif dan keburukannya, hendaklah ia mem­baca risalah al-Islamiyyuun wa Saraabud Demoqrathiyyah karya `Abdul Ghani telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia Fenomena Demokrasi, Studi Analisis Perpolitikan Dunia Islam oleh Abdul Ghany bin Muhammad Ar-rahhal -ed, Haqiiqatud Demoqrathiyyah karya Muhammad Syakir asy-Syarif, ad-Demoqra­thryyah fil Miizaan karya Sa’id Abdul Azhim dan Khamsuuna Mafsadah jaliyyah min Mafasidid Demoqrathiyyah karya `Abdul Majid ar-Riimi. [13]. Jihaaduna ats-Tsaqafi 54-65. [14]. Fatawa Mu’aashirah II/652-653 [15]. Minhajus Sunnah IV/537
Pengertianketiga, adalah pemahaman yang memahami jin sebagai jenis makhluk manusia liar yang belum berperadaban. Seorang pemikir India, Ahmad Khan, merupakan yang pertama datang dengan pemahaman ini. Ia menulis buku tentang jin dalam pandangan al-Qur’an. Menurut Ahmad Khan, al-Quran menyebut kata jin sebanyak lima kali di dalam al-Quran.
Negara adalah cakupan wilayah yang sangat luas, dan memiliki beraneka ragam budaya yang tidak sama antara satu dan yang lainnya. Selain itu negara juga memiliki sebuah pemerintahan, dimana sebuah aturan hukum di dirikan demi mencapai mencapai Tujuan Penciptaan Manusia dan Proses Penciptaan Manusia. Selain itu negara juga memiliki konsep pemerintahan yang berbeda-beda seperti demokrasi misalnya. Demokrasi adalah suatu pemerintahan yang memberikan hak sama pada setiap warga negaranya dalam menentukan hidup adalah negara yang menjadikan rakyatnya sebagai pemilik dari kedaulatan tertinggi di suatu negara. Demokrasi akan terwujud jika rakyat nya menerapkan norma dalam hidup seperti pentingnya kesadaran pluralism, cara yang sesuai dengan tujuan, kejujuran, musyawarah bersama, gotong royong dan pendidikan yang memadai. Sebuah konsep demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dengan islam, dan prinsip demokrasi yang sejalan dengan islam adalah adanya musyawarah dan keikut sertaan rakyat dalam memilih pemerintah. Dan demokrasi yang tidak sesuai dengan islam adalah dibebaskan nya sebuah sikap dan tindakan bagi seorang IslamSistem pemerintahan yang digunakan islam adalah pemerintahan khilafah atau pemerintahan yang bersifat syar’i. Khilafah yang syar’i adalah sebuah pemerintahan yang sudah sangat umum bagi muslim di dunia. Pemerintahan ini dibuat untuk menegakkan hukum atau aturan syara’ islami, dan menjalankan dakwah islam yang diperintahkan Rasulullah SAW ke seluruh dunia demi tercapainya suatu Hakikat Penciptaan Manusia, Hakikat Manusia Menurut Islam, selain itu pemerintahan syar’i dibuat berdasarkan Tujuan Penciptaan Manusia, Konsep Manusia dalam Islam, Proses Penciptaan Manusia, dan sesuai dengan Fungsi Agama untuk Sukses Dunia Akhirat Menurut Islam, dan sesuai dengan Cara Sukses Menurut Pemerintahan DemokrasiMemerintah berdasarkan kehendak rakyatMemiliki ciri kontitusioanalMemiliki wakil rakyatMemiliki kegiatan pemilihan pemimpinMemiliki suatu kelompok partaiMemiliki batasan kekuasaanKonsep Demokrasi Yang Sesuai Dengan Islam1. Demokrasi ialah suatu konsep pemerintahan yang melibatkan seluruh warga negaranya memutuskan suatu pemimpim yang akan mengurus negara mereka. Hal ini sesuai dengan islam saat diperbolehkannya seorang makmum menerima atau menolak seorang imam ketika hendak menjalankan Rakyat diberi kebebasan dalam memberikan saran kepada seorang pemimpin, atau dalam demokrasi di perbolehkan nya rakyat memberikan aspirasi. Hal ini sesuai dengan ajaran islam yang memperbolehkan seorang rakyat memberikan saran atau nasihat kepada Rakyat diwajibkan untuk menggunakan hak suaranya. Dan ini sesuai dengan konsep islam, karena barang siapa orang yang tidak menggunakan hak suaranya dalam pemilihan pemimpin. Sehingga orang yang tidak seharusnya memimpin menjadi pemimpin, dan orang yang seharusnya memimpin tidak terpilih. Otomatis hal ini termasuk dengan menyalahi apa yang sudah Allah perintahkan, yaitu memilih pemimpin yang muslim, adil dan Menetapkan suara terbanyak sebagai pemenang dalam pemilihan pemimpin. Misalnya dalam pemilihan seorang presiden dan siapa calon presiden yang mendapatkan suara yang terbanyak, maka otomatis akan menjadi pemimpin. Dalam islam hal ini juga pernah dilakukan seperti misalnya saat pemilihan seorang khalifah Umar. Dan mengambil keputusan penetapan seorang pemimpin melalui suara terbanyak tidak bertentangan dengan syariat agama Islam memberikan kebebasan pada setiap muslim untuk mengutarakan pendapat. Hal ini juga menjadi ciri utama dalam pemerintahan sistem demokrasi suatu negara yang memberikan kebebasan pada warga negaranya untuk berpendapat dan kebebasan Demokrasi Yang Bertentangan Dengan IslamSering kali negara demokrasi meninggikan peraturan yang dibuat adalah sebuah kesepakatan yang mutlak dan terbaik. Hal ini tidak sesuai dengan apa yang di syariatkan islam karena hukum yang paling sempurna adalah Dasar Hukum Islam yang Allah tetapkan, sehingga hal ini di anggap termasuk pada sebuah kemusyrikan dan kufur pada Allah dan agama Dalam islam sebuah pendapat boleh di berikan namun harus tetap sesuai dengan syariat islam. Dalam hal ini negara demokrasi membebaskan rakyat nya untuk melakukan sesuatu tanpa ada batasan yang ditetapkan seperti hukum yang islam Musyawarah yang islam ajarkan adalah suatu penentuan keputusan yang merujuk pada shahih atau dhoifnya dalil dan bukan dari sebuah pendapat yang memiliki suara pemerintahan dengan sistem demokrasi membuat para ulama mengeluarkan pendapat baik pro dan kontra terhadap sistem demokrasi suatu negara. Hal ini juga membuat banyak para ulama mengeluarkan pendapatnya tentang alasan mereka tidak menyetujui tentang hal tersebut, dan yang menyetujui sistem demokrasi Tokoh Ulama Tentang DemokrasiAl MadudiBeliau adalah tokoh ulama yang menolak dengan tegas suatu demokrasi dalam negara. Islam tidak memberikan kekuasaan penuh pada rakyat untuk memutuskan sesuatu. Islam menggunakan dalil yang kuat dalam memutuskan suatu masalah, atau perkara yang muncul dalam suatu pemerintahan. Lain hal nya dengan demokrasi yang hukumnya dibuat oleh manusia sehingga cenderung bersifat ImarahBeliau adalah tokoh yang tidak menerima demokrasi dengan tegas dan juga tidak menyetuji adanya sistem demokrasi pada suatu negara. Demokrasi adalah sebuah sistem kekuasaan yang membuat atau menetapkan hukum di tangan manusia rakyat . Hal ini sangat bertentangan dalam sistem pemerintahan islam yang sudah dibuat dan di tetapkan Allah sebagai pemegang kekuasaan Ali Al-BahnasawiMenurut beliau demokrasi ialah suatu sistem pemerintahan yang memiliki sisi baik yang tidak bertentangan dengan islam. Sisi baik dalam sistem demokrasi ialah adanya suatu kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan hukum Islam. Sisi buruk demokrasi adalah adanya penggunaan hak legislatif yang bebas dan bisa mengarah pada suatu sikap yang menghalalkan sesuatu yang haram. Beliau juga menawarkan suatu sistem demokrasi yang islami atau sesuai dengan ajaran islam yang tanggung jawab untuk setiap individu wakil rakyat harus memiliki suatu sifat yang sesuai dengan Akhlak Dalam Islam, baik dalam menjalankan tugas-tugas dan komitmen dalam islam hanya boleh diputuskan orang-orang yang berakhlak dan bertanggung pendukung bukanlah suatu keputusan yang mutlak dalam menentukan sesuatu, dan hukum tersebut tidak ditemukan dalam Sunnah dan Al-Qur’an dalam surat Annisa ayat 59 يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًاHai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah Al Qur’an dan Rasul sunnahnya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik itu disebutkan juga dalam surat Al Ahzab ayat 36 tentang sebuah ketetapan yang Allah buat harus di كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًDan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. Demokrasi adalah negara yang bebas untuk beraspirasi dan bebas dalam melakukan sesuatu. Hal ini jelas-jelas dilarang dalam islam, karena islam sudah menetapkan suatu dasar hukum yang baik dan benar untuk sebuah peraturan dalam hal apapun. Jadilah seorang pemimpin yang adil dan jujur, agar negara demokrasi yang saat ini mampu bertransformasi menjadi negara demokrasi islami. Sistem demokrasi islami yang diharapkan para tokoh ulama ialah sistem demokrasi yang dalam pengambilan keputusan merujuk pada Fungsi Hadist Sebagai Sumber Hukum Islam dan Sumber Syariat Islam. Para ulama memberikan gambaran demokrasi islami agar kita sebagai umat muslim di seluruh dunia tidak tersentuh oleh bermacam-macam Dosa Besar Dalam Islam.
PANDANGANM.NATSIR TENTANG DEMOKRASI (KAJIAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM) MAKALAH Oleh: INDAH MULIATI, S.PdI, M.Ag NIP. 197904152009122001 UPT MKU FIS UNIVERSITAS NEGERI PADANG Bandung Natsir juga belajar pada tokoh ulama Persis A. Hasan, peristiwa ini tercatat dalam sejarah hidup Natsir sebagai peristiwa yang

- Demokrasi adalah satu dari sekian sistem pemerintahan yang berkembang dan digunakan di banyak negara saat ini. Dalam sistem demokrasi, semua warga negara memiliki hak yang setara dalam pengambilan keputusan. Seperti halnya arti kata demokrasi itu sendiri yang berasal dari Bahasa Yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan “cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi secara bahasa demos-cratein atau demos-cratos demokrasi adalah keadaan negara dimana dalam sistem pemerintahnnya kedaulatan berada ditangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat. Biasa diartikan demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sedangkan dalam pemerintahan islam dalam mengambil keputusan di kenal dengan istilah musyawarah. Musyawarah menurut Al-Asfahani dapat dilihat dari kata al-Tasyawur, al-Musyawarah dan al-Masyurah, yang berarti mengemukakan pendapat dengan mengambil pertimbangan dari orang lain. Sedangkan Ahmad Muhyiddin al-Ajuz berpendapat bahwa musyawarah yaitu dapat menghasilkan suatu keputusan yang baik dan dapat membuat kemaslahatan umat manusia dengan cara pertukaran pendapat. Ulama’ memiliki pandangan yang berbeda dalam menyikapi konsep demokrasi yaitu ada yang menerima dan ada juga yang menolak. Menurut Yusuf al-Qardhawi dalam Islam demokrasi dan musyawarah mempunyai kesamaan antara lain yaitu demokrasi memberikan bentuk dan beberapa sistem yang praktis untuk meminta pendapat rakyat dan kebebasan berpendapat yang mana hal tersebut juga termasuk bagian penting dalam musyawarah. Jika ditelusuri kata musyawarah dan demokrasi memiliki perbedaan yang mendasar. Konsep musyawarah telah dikenal dan diterapkan oleh seluruh umat muslim, karena ia merupakan tuntunan yang telah diajarkan agama islam. Sedangkan konsep demokrasi yang mencetuskan dan yang mengenalkan adalah orang barat, selain itu demokrasi tidak diterapkan pada semua negara. Kedua istilah ini memang berbeda, akan tetapi memiliki kesamaan diantaranya yaitu Dalam sistem demokrasi dan musyawarah hakikatnya tidak dibatasi peraturan dan ikatan norma hukum yaitu berupa derajat yang sama, adanya kebebasan dalam berfikir, kebebasan memeluk agama dan adanya keadilan sosial. Dalam musyawarah dan demokrasi rakyat memiliki hak dan kebebasan dalam memilih wakilnya untuk menentukan kebijakan bersama dengan pemimpin yang dipilihnya. Yang mana dalam hal ini demokrasi dan musyawarah memberikan dan membuka kesempatan kepada rakyat untuk ikut serta membuat keputusan yang akan disepakati. Pada dasarnya tetap tidak diperbolehkan melakukan penyimpangan dari kemaslahatan umat pada konsep demokrasi dan musyawarah,karena hasil dari keputusan yang telah diputuskan semuanya untuk kepentingan bersama. Demokrasi ini mempunyai titik kesamaan dengan konsep musyawarah yang dikenal dalam Islam, yaitu rakyat mempunyai hak ikut serta dalam menentukan kebijkan yang diambil oleh negara. Musyawarah sudah ada sejak pra Islam karena sudah menjadi tradisi secara turun-menurun. Majlis, mala, dan nadi merupakan suatu lembaga, dewan atau badan yang ada sebelum orang-orang Arab masuk Islam. Dalam lembaga tersebut orang-orang Arab melakukan musyawarah dan menentukan kepala pemerintahan dengan tujuan persoalan-persoalan yang ada dapat diselesaikan dengan baik. Kemudian Islam mempertahankan tradisi ini, karena musyawarah merupakan sebuah fitrah manusia sebagai makhluk yang sosial-politik. Lembaga musyawarah pra Islam yang dilandasi dengan suku atau darah diubah oleh Islam menjadi lembaga musyawarah sebagai institusi komunitas ummah yang mengutamakan prinsip hubungan iman. Ketika nabi Muhammad hijrah ke Yastrib, demokrasi musyawarah semakin mendapat tempat ditengah-tengah masyarakat karena dikota ini kesepakatan ini telah dibuat oleh nabi Muhammad. Dan perjanjian tersebut bernama mitsaq al Madinah konstitusi atau piagam Madinah. Setelah dua hari nabi wafat, kebiasaan demokrasi musyawarah ini tetap berjalan sampai dengan pengangkatan khalifah Abu Bakar as-Sidiq sampai dengan sahabat-sahabat setelahnya. Seperti pada masa Khalifah Umar bin Khattab bahkan pembagian kekuasaan itu sudah terjadi. Dalam sejarah bahwa khalifah Umar bin Khattab misalnya menunjuk beberapa orang sahabat Nabi saw. untuk bertanggung jawab menjadi kadi qâdhî di beberapa daerah seperti Zaid bin Tsabit dan Abu Darda’ di Madinah, Abdullah bin Mas’ud di Kufah, dan lain-lain. Itu artinya, Umar sudah memisahkan kekuasaan yudikatif dari kekuasaan eksekutif dalam batas-batas kondisi zaman itu. Pandangan Tokoh Islam Tentang Demokrasi Abul A’la Al-Maududi Beliau adalah tokoh ulama yang menolak dengan tegas suatu demokrasi dalam negara. Islam tidak memberikan kekuasaan penuh pada rakyat untuk memutuskan sesuatu. Islam menggunakan dalil yang kuat dalam memutuskan suatu masalah, atau perkara yang muncul dalam suatu pemerintahan. Lain hal nya dengan demokrasi yang hukumnya dibuat oleh manusia sehingga cenderung bersifat sekuler. Muhammad Imarah Beliau adalah tokoh yang tidak menerima demokrasi dengan tegas dan juga tidak menyetuji adanya sistem demokrasi pada suatu negara. Demokrasi adalah sebuah sistem kekuasaan yang membuat atau menetapkan hukum di tangan manusia rakyat. Hal ini sangat bertentangan dalam sistem pemerintahan islam yang sudah dibuat dan di tetapkan Allah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Salim Ali Al-Bahnasawi Menurut beliau demokrasi ialah suatu sistem pemerintahan yang memiliki sisi baik yang tidak bertentangan dengan islam. Sisi baik dalam sistem demokrasi ialah adanya suatu kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan hukum Islam. Sisi buruk demokrasi adalah adanya penggunaan hak legislatif yang bebas dan bisa mengarah pada suatu sikap yang menghalalkan sesuatu yang haram. Beliau juga menawarkan suatu sistem demokrasi yang islami atau sesuai dengan ajaran islam yang ada. Memberikan tanggung jawab untuk setiap individu Allah. Seorang wakil rakyat harus memiliki suatu sifat yang sesuai dengan Akhlak Dalam Islam, baik dalam menjalankan tugas-tugas dan kewajibannya. Suatu komitmen dalam islam hanya boleh diputuskan orang-orang yang berakhlak dan bertanggung jawab. Banyaknya pendukung bukanlah suatu keputusan yang mutlak dalam menentukan sesuatu, dan hukum tersebut tidak ditemukan dalam Sunnah dan Al-Qur’an dalam surat Annisa ayat 59 يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah Al Qur’an dan Rasul sunnahnya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya. Mohammad Iqbal Menurut Iqbal, sejalan dengan kemenangan sekularisme atas agama, demokrasi modern menjadi kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama. Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal Islam tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi an sich, seperti yang dipraktekkan di Barat. Lalu, Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi sebagai berikut a Tauhid sebagai landasan asasi. b Kepatuhan pada hukum. c Toleransi sesama warga. d Tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit. e Penafsiran hukum Tuhan melalui ijtihad. Yusuf al-Qardhawi. Menurut Al-Qardhawi, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal, misalnya sebagaimana berikut a Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam salat yang tidak disukai oleh ma'mum di belakangnya. b Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar ma'ruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam. c Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah Allah Swt. untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan. d Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka, yaitu Abdullah ibnu Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas. e Kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam. Wallahu a’lam Bishawab

Pandanganulama tentang demokrasi dalam hubungannya dengan keputusan memilih walikota Bandar Lampung 2005 . Tersimpan di: Main Author: Khairuddin Tahmid (-) Corporate Authors: Demokrasi Dan Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Desa oleh: Khairuddin Tahmid Terbitan: (2004) Opsi Pencarian
ArticlePDF Available AbstractIslam is a religion that regulates people's lives. This includes democracy and law enforcement. In democracy there are several views of Muslim experts, some accept but on the condition that the power is not absolute in the hands of the people, and there are also those who reject it altogether. In the ulama democracy accepted in Islam is deliberation and consensus in matters that are in accordance with religious rules. In Islamic democracy, it is very radicalism. This can be seen from the views of some scholars of Tafsir regarding Surah Al-Baqarah verse 143 that Islam is not exceeding the limit. Meanwhile, good law enforcement can be created because of a well-executed democracy. In Islam, law enforcement is a profession that is not easy. There are criteria and ethics for judges as law enforcers so that the law can produce a fair law. In the enforcement of the law must glorify God's commandments and have a sense of compassion or concern and a deep sense of justice that is shown. Democracy and law enforcement in the perspective of the Qur'an there are ethics that must be done, so that democracy and law enforcement cannot be separated from religion as secular views separate religion from worldly problems. Religion with the guidance of the holy book Al-Qur'an plays an important role in guiding democracy and good law enforcement. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. 109 Available online Jurnal Al Ashriyyah Volume 7 No 2 Oktober 2021 DEMOKRASI DAN PENEGAKAN HUKUM DALAM WAWASAN AL-QUR’AN Muhammad Soleh Ritonga* Universitas Indraprasta PGRI Jakarta, Kampus A Jl. Nangka Tanjung Barat TB Simatupang, Jagakarsa, Jakarta Selatan 12530. Kampus B Jl. Raya Tengah No. 80, Kel. Gedong, Kec. Pasar Rebo, Jakarta Timur 13760 E-mail * muhammadsolehrtg No. Tlp/WA 081298408623 Diterima 8 September 2021; Diperbaiki 20 September 2021; Disetujui 28 September 2021 Abstract Islam is a religion that regulates people's lives. This includes democracy and law enforcement. In democracy there are several views of Muslim experts, some accept but on the condition that the power is not absolute in the hands of the people, and there are also those who reject it altogether. In the ulama democracy accepted in Islam is deliberation and consensus in matters that are in accordance with religious rules. In Islamic democracy, it is very radicalism. This can be seen from the views of some scholars of Tafsir regarding Surah Al-Baqarah verse 143 that Islam is not exceeding the limit. Meanwhile, good law enforcement can be created because of a well-executed democracy. In Islam, law enforcement is a profession that is not easy. There are criteria and ethics for judges as law enforcers so that the law can produce a fair law. In the enforcement of the law must glorify God's commandments and have a sense of compassion or concern and a deep sense of justice that is shown. Democracy and law enforcement in the perspective of the Qur'an there are ethics that must be done, so that democracy and law enforcement cannot be separated from religion as secular views separate religion from worldly problems. Religion with the guidance of the holy book Al-Qur'an plays an important role in guiding democracy and good law enforcement. Keywords; Deliberation, consensus, moderate, fair Abstrak. Islam adalah agama yang mengatur kehidupan dibergai bidang. Termasuk dalam demokrasi dan penegakan hukum. Dalam hal demokrasi terdapat beberapa pandangan para ahli muslim ada yang menerima tapi dengan syarat tidak mutlak kekuasaan di tangan rakyat, ada juga yang menolak sama sekali. Dalam penafsiran ulama demokrasi yang diterima dalam Islam adalah musyawarah kemufakatan dalam hal yang sesuai aturan agama. Dalam demokrasi Islam sangat menentang dengan radikalisme. Hal ini dapat dilihat dari pandangan beberapa ulama ahli Tafsir tentang surat Al-Baqarah ayat 143 bahwa Islam adalah moderat tidak melampaui batas. Sedangkan penegakan hukum yang baik itu bisa tercipta karena demokrasi yang dijalankan dengan baik. Dalam Islam para penegak hukum adalah profesi yang tidak mudah ada kriteria dan etika bagi hakim sebagai penegak hukum supaya hukum bisa menghasilkan hukum yang adil. Dalam pnegakan hukum tersebut haruslah mengagungkan peintah Allah dan mempunyai rasa welas asih atau prihatin dan rasa mendalam yang ditunjukkan dengan berlaku adil. Demokrasi dan Penegakan hukum dalam wawasan Al-Qur’an ada etika yang harus dilakukan, sehingga demokrasi dan penegakan hukum tidak bisa dipisahkan dari agama sebagaimana pandangan sekuler yang memisahkan agama dengan masalah keduniawian. Agamalah dengan panduan kitab suci Al-Qur’an berperan penting dalam memandu demokrasi dan penegakan hukum yang baik. Jurnal Al Ashriyyah, Volume 7 No 2 Oktober 2021 109-120 Page 110 Muhammad Soleh Ritonga Kata kunci; Musyawarah, mufakat,moderat, adil. Tautan permanen/DOI xxxPendahuluan Demokrasi dalam pandangan para tokoh Islam ada yang menyatakan bahwa menolak sama sekali demokrasi, namun ada juga demokrasi bisa diterima dengan syarat tertentu. dalam hal ini demokrasi harus di atur oleh agama. Berbeda dengan pandangan sekuler bahwa agama tidak boleh mengatur keduniaian termsuk masalah politik, seperti demokrasi dan penegakan hukum dan latar belakang ini, penulis tertarik untuk meneliti bagaimana pandangan Islam terhadap demokrasi dan penegakan hukum? Dalam hal ini sesuai dengan kitab suci Al-Qur’an, maka penelitian demokrasi dan penegakan hukum ini diteliti dengan berwawasan Al-Qur’an. Dalam tinjuan pustaka sebelumnya, bahwa peniliti sudah ada yang meneliti tentang demokrasi dan penegakan hukum di beberapa jurnal, seperti Demokrasi dalam Pandangan Islam dan Barat yang ditulis oleh Afifa Rangkti, penelitian ini hanya fokus pada perbedaan antara demokrasi Islam dengan lainnya adalah tulisan Farida Nur Afifah tentang Demokrasi dalam Al-Qur’anImplementasi Demokrasi di Indonesia, yang hasil penelitiannya mengungkap demokrasi yang diimplementasikan di Indonesia. Afifa Rangkuti 2018. Demokrasi dalam Pandangan Islam dan Barat, dalam Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum, 5 2 49-59. Fazlur Rahman 1405/1985. Islam dan Modrenitas. Bandung Pustaka 54. Afifa Rangkuti 2018. …… 5 2 49-59 Hanya satu cara yang paling tepat dengan Islam dalam melaksanakan demokrasi, yaitu harus melalui prinsip-prinsip yang diatur dalam al-Qur’an. Dengan cara ini maka demokrasi akan memanifestasikan nilai-nilai Ilahi pada semua aspek kehidupan, dengan perumpamaan apa yang telah dimplementasikan nabi Muhammad pada masyarakat Madinah yang termuat pada peraturan piagam lainnya adalah Eva Iryani dengan judul Hukum Islam, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Hasil kajiannnya adalah Demokrasi dan HAM diatur dalam Al-Qur’an. Islam memiliki landasan hukum yang kuat, Al-Quran salah satunya. Demokrasi sering didefinisikan sebagai penghormatan terhadap hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan di depan hukum. Sejak saat itu muncul idiom demokrasi, sebagai egalite persamaan, persamaan justice, kebebasan freedom, hak asasi manusia human rights, dan segera. Hak Asasi Manusia telah ditetapkan dalam Al-Qur'an. juga diatur dalam hukum di setiap negara. dijalankan dengan aturan yang lainnya adalah Penegakan Hukum atas Keadilan dalam Pandangan Islam, olehM. Rais Ahmad. Hasil kajiannya adalah untuk memperoleh hukum dengan adil, Farida Nur Afifah 2020. Demokrasi dalam Al-Qur’anImplementasi Demokrasi di Indonesia dalam Jurnal Kaca Jurusan Ushuluddin STAI AL FITHRAH. 10 1 6-32. Eva Iryani Hukum Islam. 2017. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalam Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi. 17 2 24-31. Jurnal Al Ashriyyah, Volume 7 No 2 Oktober 2021 109-120 Muhamad Soleh Ritonga Page 111 ditentukan oleh faktor manusia. Keadilan sosial akan tercipta bila pemerintah menegakkan keadilan hukum yang adil, ada rasa saling tolong-menolong dan interdependensi adanya ketergantungan sesama, bukan dengan kezaliman hukum yang diterapkan. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mendapatkan wawasan Al-Qur’an tentang Demokrasi dan Penegakan Hukum. Dan menjadi bantahan bagi pandangan sekuler yang menyatakan bahwa agama tidak boleh mengatur atau mencampuri urusan demokrasi dan penegakan hukum. Metode Metode pengumpulan data pada penyusunan artikel ini, menggunakan corak Library, murni Library Research, merupakan metode riset kepustakaan, sedangkan pendekatannya menggunakan pendekatan kualitatif. Untuk sumber utamanya adalah Al-Qur’an, Hadits, Tafsir. Sedangkan sumber sekundernya adalah buku-buku dan jurnal-jurnal serta beberapa website yang ada hubungannya dengan bahasan pada artikel ini. Hasil dan Pembahasan Penelitian A. Pengertian Demokrasi Demokrasi adalah kata yang sudah mendunia termasuk sudah dipakai dalam bahasa Indonesia. Namun sebetulnya kata demokrasi bukanlah asli dari bahasa Indonesia. Menurut Prof. Sukron Kamil, beliau mengutip pendapat Peter Jhones, yang menyatakan bahwa kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri M. Rais Ahmad 2013. Penegakan Hukum atas Keadilan dalam Pandangan Islam dalam Jurnal Mizan; Jurnal Ilmu Syariah, FAI Universitas Ibn Khaldun UIKA BOGOR. 1 2 143-148. dari dua kata yang digabung, yaitu kata demos dan kratos, mengandung arti kekuasaan oleh rakyat. Demokrasi adalah suatu sistem politik yang memberikan perlakuan yang sama terhadap orang lain pada segi politik, mempunyai kedaulatan yang sama, baik itu dipilih secara langsung atau tidak langsung dengan perwakilan yang dipilih lewat pemilu secara bebas untuk sarana kontrol yang efektif. Dalam dunia barat kekuasaan mutlak di tangan rakyat. Hal ini senada dengan pendapat sekuler. Pada kehidupan masyarakat, sekularisasi berupaya untuk menghilangkankan peran-peran dari keagamaan. Masyarakat akan menjadi menjadi sekular disebabkan agama sudah, sebuah ketika agama sudah tersingkirkan dalam kehidupan. Sekularisme merupakan kepercayaan bahwa peroblematika dalam kehidupan sosial kemasyarakatan harus bersis dan tidak ada ikut campur dari semua aturan dogma dan global sekularisme merupakan paham yang menyatakan agama tidak berhubungan dengan problematika keduniaan yaitu persoalan sosial budaya maupun politik. Agama hanya digunakan pada ritual keagamaan saja. Tingkah laku dan etika tidak bersumber dari agama tapi diambil dari sumber kesejahteraan sosial dan kehidupan pandangan sekuler demokrasi tidak boleh diatur oleh agama. Agama tidak punya otoritas Sukron Kami 2013 Pemikiran Poiitik Islam Tematik, Jakarta Kencana Prenada Media Grouop, cet 1 85. Ilyas Bayunus dan Farit Ahmad. 1996. Sosiologi Islam Dan Masyarakat Kontemporer. Bandung Mizan 54. Harun Nasution. 1975. Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran Dan Gerakan. Jakrta Bulan Bintang 131. Jurnal Al Ashriyyah, Volume 7 No 2 Oktober 2021 109-120 Page 112 Muhammad Soleh Ritonga dalam membangun politik yang termsuk dalam masalah demokrasi dan penegakan hukum. Dalam pandangan tokoh Islam, menentang pendapat sekuler tersebut seperti padangat Al-Maududii. Menurut Al-Maududi, beliau menolak dengan tegas akan demokrasi ala barat. Menurutnya, demokrasi itu memberikan kekuasaan sebesar-besarnya kepada rakyat dan tidak dikenal dalam Islam, demokrasi cendrung sekuler yang merupakan hasll buatan manusia sekaligus merupakan pertentangan Barat terhadap agama. Al-Maududi memperkenalkan istilah demokrasi Islami yang disebut dengan theodemokracy merupakan pemerintahan yang menggunakan sistem demokrasi dengan berlandaskan pada ilahiyah, sistem demokrasi pada pemerintahan ini rakyat diberi kedaulatan tidak mutlak, kedaulatannya terbatas, harus mengikuti aturan agama. dan Maududi, 1996130 Begitu juga pendapat Muhammad Imarah, Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi barat secara mutlak berada di tangan rakyat. Sementara dalam Islam memakai sistem syura kekuasaan adalah milik Allah, sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang sudah digariskan oleh Allah. Dan untuk hal yang tidak diatur oleh Allah maka yang dilakukan adalah mengadakan dari kedua tokoh tersebut di atas bersesuaian dengan Al-Qur’an. Hal tersebut dapat kita lihat pada surat Ali Imran ayat 159 yang Al-Maududiy, Abu al-A’la. 1977. Mabdi’u al-Islam. Damaskus Dar al-Qur’an al-Karim 130. Afifa Rangkuti 2018. ….. 5 2 49-59 memerintahkan musyawarah untuk etika dalam berdemokrasi, sebagaimana firman Allah  “Maka berkat rahmat Allah engkau Muhammad berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal”.QS. Ali Imran [3] 159 Selama Rasulullah hidup beliau sering mengimplementasikan musyawarah dengan sahabat-sahabat beliau dalam urusan kenegaraan datau kemasyarakatan yang perlu menjadi perhatian masa Rasulullah majelis-majelis perwakilan seperti yang ada di negara-negara sekarang ini belum diatur dan mempunyai anggota tertentu dan terbatas, bersidang pada waktu tertentu dan mempunyai peraturan-peraturan yang lengkap. Agama Islam itu bersifat universal untuk segala bangsa, maka perlu disesuaikan dengan tiap-tiap tempat dan diselaraskan dengan segala masa. Sedangkan keadaan masyarakat Muhammad Alî al-Shâbûnî 1420 H/ 1999 M. Shafwah al-Tafâsîr, Jakarta Dâr al-Kutub al-Islâmiyah, cet 1, jilid 1 240. Jurnal Al Ashriyyah, Volume 7 No 2 Oktober 2021 109-120 Muhamad Soleh Ritonga Page 113 dan pergaulan di suatu tempat atau di sauatu masa sering berbeda dari tempat-tempat atau masa-masa yang lain. Maka kalau baginda nabi Muhammad menetapkan peraturan yang sesuai dengan masa dan tempat beliau saat itu, beliau tidak terlepas dari kekhawatiran, kalau di kemudian hari umat beliau menyangka peraturan itu mesti begitu, tidak boleh diubah lagi walaupun tidak sesuai dengan keadaan tempat masa itu, menutup mata, mengikuti susunan dan peraturan yang ada saja, tidak memperhatikan tujuan dan manfaat dari permusyawarah itu disediakan. Karena itu, baginda Nabi menyerahkan teknis dan format permusyawarahan itu pada kebijakan umat yang sesuai dengan masyarakat di tempat dan masa mereka, selaras dengan keadaan dan kemaslahatan mereka di waktu musyawarah tersebut adalah kesepakan yang baik, tidak melanggar aturan agama,tidak boleh melakukan kesepakatan yang buruk, sebagaimana firman Allah “... Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.” QS. Al-Maidah[5] 2 Prinsip tolong menolong harus pada hal yang ditetapkan Allah akan kebolehan dalam mengerjakannya, ada rasa takut kepada Allah bersekongkol dalam melakukan apa yang Allah larang, tidak mengadakan persekutuan Sulaiman Rasjid, H.2005. Fiqh Islam, Bandung Sinar Baru Algensindo, cet 37 504. permukatan dalam hal kemaksiatan dan persekutuan permukatan dalam hal menolak hukum-hukum yang sudah ditetapkan Radikalisme Dalam KBBI radikal mempunyai arti secara menyeluruh, habis-habisan, perubahan yang menyeluruh, 2. Dalam politik amat keras menuntut perubahan undang-undang, pemerintahan dan sebagainya, 3. Dalam politik, maju dalam berpikir dan bertindak. Sedangkan radikalisme adalah paham yang menganut cara radikal dalam Kepala Humas dan Pusat Informasi BNPT Irfan Idris mengatakan setidaknya ada empat hal ciri radikalisme. Kriteria ini kemudian yang dipakai BNPT untuk memblokir situs Islam yang mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI. Kriteria pertama, yakni radikalisme bisa ditimbulkan dari ingin melakukan perubahan dengan cepat menggunakan kekerasan mengatasnamakan agama. Kedua, mengkafirkan orang lain. Ketiga, mendukung, menyebarkan dan mengajak bergabung dengan ISIS. Terakhir, memaknai jihad secara al-Dîn Muhammad ibn Ahmad Al-Mahallî dan Jalâl al-Dîn Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthî Tafsîr al-Jalâlain, Qâhirah Dâr al-Hadîts 134. Tim Penyusun Kamus Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta Balai Pustaka, .cet. 16 1151-1152. Irfan Idris.15 Agustus 2019. Ini Kriteria Radikalisme Menurut BNPT sourches URL Jurnal Al Ashriyyah, Volume 7 No 2 Oktober 2021 109-120 Page 114 Muhammad Soleh Ritonga Istilah radikalisme menurut Yusuf Qardhawi berasal dari kata al-tatharuf yang berarti “berdiri di ujung, jauh dan pertengahan”. Juga dapat diartikan dengan berlebihan dalam menyikapi sesuatu, seperti berlebihan dalam hal agama, berfikir dan Adeed Dawisa sebagaimana dikutip Azyumardi Azra menyatakan bahwa Istilah radikal mengacu kepada gagasan dan tindakan kelompok yang bergerak untuk menumbangkan tatanan politik mapan; negara-negara atau rejim-rejim yang bertujuan melemahkan otoritas politik dan legitimasi negara-negara dan rejim-rejim lain; dan negara-negara yang berusaha menyesuaikan atau mengubah hubungan-hubungan kekuasaan yang ada dalam sistem internasional. Istilah radikalisme karenanya, secara intrinsik berkaitan dengan konsep tentang perubahan politik dan sosial pada berbagai ada kesepakatan di antara para ahli untuk menggambarkan gerakan radikal sehingga memunculkan banyak terminologi. Kalangan akademisi menilai definisi "radikal" belum dipaparkan secara spesifik oleh pemerintah. Sehingga, akhirnya dapat dibedakan antara definisi radikalisme dan sifat kritis. Rektor Universitas Paramadina Prof Firmanzah memandang terminologi radikal masih sangat ambigu. Ini berbeda dengan Yusuf Qardhawi, al-Shahwah al-Islamiyah bain al-Juhud wa al-Tatharuf, diterjamahkan oleh Hawin Murthado dengan judul, Islam Radikal; Analisis terhadap Radikalisme dalam Ber-Islam, Solo Era Intermedia, cet 1 23. Azyumardi Azra. 1996. Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Postmodernisme, Jakarta Paramadina, cet 1 147-148. terminologi terorisme yang sudah sangat jelas. "Kalau terminologi terorisme sudah jelas, afiliasi gerakan-gerakan yang dianggap radikal, misal terkait dengan ISIS atau teror bom," ujar Firmanzah dalam diskusi Perspektif Indonesia yang digelar Smart FM dan Populi Center di Jakarta, Sabtu 9/6/2018. Oleh karena itu, ia meminta pemerintah dan instansi terkait memberikan definisi yang lebih terperinci terkait terminologi radikalisme. Sehingga, perguruan tinggi termasuk para rektor dapat membedakan. "Mana yang membahayakan keutuhan NKRI dan itu menjadi perhatian kita bersama, mana yang memang masih dalam kategori sikap kritis," kata pandangan Islam, radikalisme tidak mencerminakan demokrasi dan sangat ditentang. Islam bukanlah agama yang radikal, hal ini dapat kita lihat dalam firman Allah pada surat Al-Baqarah [2]143  Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu umat Islam "umat pertengahan" agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul Sakina Rakhma Diah Setiawan. 15 Agustus 2019. Akademisi Minta Pemerintah Perjelas Definisi Radikal sourches URL Jurnal Al Ashriyyah, Volume 7 No 2 Oktober 2021 109-120 Muhamad Soleh Ritonga Page 115 Muhammad menjadi saksi atas perbuatan kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang dahulu kamu berkiblat kepadanya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, pemindahan kiblat itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia. QS. Al-Baqarah [2] 143 Dalam bahasa Arab  bermakna  yang berarti umat pilihan. adalah umat terpilih yang membawa keadilan, umat Ar-Razy  mempunyai empat arti1. Sedang dan berbudi luhur 2. Berkeadilan dan moderat 3. Terpuji, banyak kelebihan 4. Pertengahan tidak melampaui batas Dilihat dari beberapa penafsiran ulama di atas jelas Islam bukanlah termasuk radikal, Islam adalah moderat yang mempunyai budi pekerti yang mulia. Kalau ada yang radikal itu karena tidak menjalankan ajaran Islam secara benar. Bahkan Islam melarang sikap radikal sebagaimana firman Allâh Muhammad bi Jarîr bin Yazîz bin Katsîr bin Ghâlib al-Âmiliy Abû Ja’far al-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân fî ta’wîl al-Qur’ân. 1420 H/ 2000 M. Bairût Muassasah al-Risâlah. Cet 3 141. Jalâl al-Dîin Muhammad ibn Ahmad Al-Mahallî dan Jalâl al-Dîin Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthî. Tafsîr al-Jalâlain, Qâhirah Dâr al-Hadîts 72. Abû al-Fidâ`Ibn Katsir al-Damisqiy. 1417 H/ 1997 M. Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm, Bairût Dâr al-Fikr. Cet. 1. Jjuz 1 214. Ahmad al-Râzî Fakhruddîn Ibn al-Allâmah Dhiyâu al-Dîn Umar, Al-Tafsîr Al-Kabîr wa Al-Mafâtîh Al-Ghaib.... Juz 4 108. Wahai Ahli Kitab! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sungguh, Al-Masih Isa putra Maryam itu adalah utusan Allah dan yang diciptakan dengan kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan dengan tiupan roh dari-Nya. Maka berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan, "Tuhan itu tiga," berhentilah dari ucapan itu. Itu lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Mahasuci Dia dari anggapan mempunyai anak. Milik-Nyalah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan cukuplah Allah sebagai pelindung.QS. An-Nisa'[4]171 Pada ayat di atas ahli Kitab melampaui batas dalam ucapannya manusia pun nabi Isa dianggap sebagai tuhan. Ini termasuk contoh radikal. Dan Islam melarang ini. Radikalisme tidak mengenal dari mana dia berasal. Dia adalah pemahaman yang melampaui batas kewajaran baik itu di bidang agama, politik, ekonomi, budaya dan lainnya. C. Penegakan Hukum Jalâl al-Dîin Muhammad ibn Ahmad Al-Mahallî dan Jalâl al-Dîin Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthî, Tafsîr al-Jalâlain, ... 132. Jurnal Al Ashriyyah, Volume 7 No 2 Oktober 2021 109-120 Page 116 Muhammad Soleh Ritonga Penegakan hukum menurut Maroni sebagaimana yang dikutip Carto Nuryanto, merupakan rangkaian proses untuk menerapkan nilai-nilai, ide, dan cita hukum yang bersifat abstrak menjadi tujuan hukum. Tujuan hukum atau cita hukum memuat moral hukum seperti keadilan hukum dan hukum dilakukan dalam masyarakat terbagi kepada dua yaitu, secara makro dan secara mikro. Adapun secara Makro, penegakan hukum meliputi semua aspek kehidupan dalam masyarakat, berbangsa maupun bernegara, untuk melaksankan norma hukum yang ada. Baik itu dalam ruang sempit aspek penal hukum pidana maupun aspek non-penal di luar hukum pidana. Sedangkan secara mikro, penegakan hukum ini terbatas pada proses pemeriksaan di pengadilan termasuk proses dilakukannya penyidikan, penuntutan sampai pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Hakim merupakan salah satu dari penegak hukum yang mempunyai peran sangat penting dalam mewujudkan keadilan melalui putusan-putusannya yang dilakukan oleh dasarnya, penegakan hukum bukan hanya semata-mata tugas dari aparat penegak hukum, tetapi menjadi kewajiban seluruh komponen bangsa. Hal ini sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa “Segala warga bersamaan Carto Nuryanto. 2018. Penegakan Hukum Oleh Hakim Dalam Putusannya Antara Kepastian Hukum Dan Keadilan. dalam Jurnal Hukum Khaira Ummah. 13 1 73.. Al-Jawi, Muhammad Nawawi, Syeikh. tth,. Mirah Labiid Tafsiru an-Nawawi, Dar al-Kutub Islamiyyah Jakarta,Juz 1 194. kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Hal ini senada dengan Al-qur’an surat al-Maidah ayat 8 “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, ketika menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan”. QS. Al-Maidah/5 8 Dari petunjuk redaksi ayat di atas dalam Tafsir Marâh Labîd li Kasyfi Ma’nâ Qur’ânim Majîd karya Syeikh Muhammad Nawawi Al-Bantani, menungkapkan bahwa ada dua beban kerja yang harus dilaksanakan orang yang beriman, yaitu 1. Mengagungkan perintah Allah, yaitu pada redaksi ayat  Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, beban kerja bagi seorang yang beriman disini adalah mampu melaksanakan tugas perintah secara benar dengan penuh ketaatan kepada Allah dan menjauhi berbagai larangan-Nya. 2. Mempunyai rasa simpati dan empati terhadap makhluk yang Allah ciptakan, yaitu pada redaksi ayat    ketika menjadi saksi bersaksilah dengan adil, saksi harus Jurnal Al Ashriyyah, Volume 7 No 2 Oktober 2021 109-120 Muhamad Soleh Ritonga Page 117 memberikan keterangan sesuai dengan fakta tidak menyalahi kenyataan dan bukti yang terjadi Selanjutnya kalimat , artinya dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil, Syaikh Nawani dalam tafsirnya memberikan penjelasan         artinya jangan karena kebencian terhadap sebagian pihak lalu memberikan putusan yang menyimpang kepada mereka dan memberikan hukuman yang melampai batas terhadap sebagian pihak tersebut, akan tetapi berbuat adilllah terhadap mereka walaupun mereka berbuat tidak baik terhadap kamu sebelumnya dengan artian bahwasanya Allah memerintahkan kepada semuanya untuk memutuskan secara adil dan meninggalakan putusan yang menurut syaikhMuhammad Alî al-Shâbunî dalam tafsir Shafwah al-Tafâsîr,   jangan karena terlalu benci terhadap lawan sehingga meninggalkan berbuat adil pada mereka dan melakukan tindakan yang agresif terhadap teks ayat sesudahnya adalah , artinya berlaku Al-Jawi, Muhammad Nawawi.. tth. Mirah Labiid Tafsiru an-Nawawi …… 194. Al-Shabuni, Muhammad Ali. tth. al-Shafwah al-Tafasir, Beiru Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Jilid 1 330. adillah. Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Berbuat adil itu tidak melihat kepada lawan atau kawan. Orang yang berbuat adil ini akan terhindar dari kedurhakaan kepada Allah dan terhindar dari azab Allah. Sebagai akhir atau ujung ayat tersebut dengan bunyi redaksi  Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan. Semua hal yang dilakukan tidak ada yang tersembunyi bagi Allah, Allah akan menampakkan perbuatan yang dilakukan dan memberikan Muhammad membagi hakim kepada tiga bagian sebagaimana sabda Rasul                       ... Dari Ibn Buraidah dari ayahnya, dari Nabi  bersabda hakim itu ada tiga golongan, satu golongan masuk surga sedangkan dua golongan yang lainnya msuk neraka. Adapun golongan yang masuk surga adalah hakim yang mengetahui hukum yang sebenarnya menurut hukum Allah dan dia menghukum dengan hak itu. Sedangkan Al-Jawi, Muhammad Nawawi. tth. Mirah Labiid Tafsiru an-Nawawi… 194. Abû Dâwûd Sulaimân Ibn al-Asy’ats Al-Sajastâniy. Sunan Abî Dâwûd, Bairût Dâr al-Kitâb al-Arabiy. Juz 3, No. 3575. Bab fî al-Qâdhî Yakhtha’u. 473 Jurnal Al Ashriyyah, Volume 7 No 2 Oktober 2021 109-120 Page 118 Muhammad Soleh Ritonga hakim yang mengetahui hukum yang sebenarnya menurut hukum Allah tapi dia menyelewengkan hukum itu maka hakim tersebut golongan yang masuk neraka dan hakim yang menghukum manusia tanpa ilmu pengetahuan maka diapun termasuk golongan hakim yang masuk neraka. HR. Abu Daud Dalam Islam seleksi untuk hakim sangat ketat, menurut imam Taqiyu al-dîn harus memenuhi syarat di bawah ini1. Islam 2. Baligh 3. Berakal 4. Merdeka 5. Adil 6. Laki-laki 7. Mengerti al-Qur’an 8. Mengerti Hadits 9. Mengetahui Ijma’ ulama dan perselisihan paham mereka 10. Mengerti tetang Qiyas 11. Mengetahui bahasa Arab 12. Pendengaran bagus 13. Penglihatan bagus 14. Sadar 15. Memunyai kecakapan dalam berkomunikasi Selaian syarat di atas seorang hakim harus mempunyai etika, karena kedudukan hakim adalah kedudukan yang mulia, diantaranya adalah1. Berkantor di tengah negeri 2. Dapat dijumpai masyarakat dengan mudah Taqiyu al-Dîn Abî Bakrin Muhammad al-Husainiy al-Hushniy al-Damasyqiy al-Syâfi’iy. 1422 H/2001 M. Kifâyatu al-Akhyâr fî halli Ghâyati al-Ikhtishâr. Bairut Dâr al-Kutubu al-Ilmiyyah 727-729. Taqiyu al-Dîn Abî Bakrin Muhammad al-Husainiy al-Hushniy al-Damasyqiy al-Syâfi’iy. 1422 H/2001 M. Kifâyatu al-Akhyâr fî halli Ghâyati al-Ikhtishâr. … 729-737. 3. Tidak boleh memutuskan perkara di masjid 4. Hakim harus menyamakan pada dua orang berperkara dalam hal tempat mereka, berbicara dan perkataan manis tidaknya. 5. Tidak boleh menerima pemberian dari rakyatnya 6. Jangan memutuskan perkara ketika dalam keadaan ; marah, lapar, haus, larut malam, sangat susah, sangat gembira, ketika sakit, kebelet buag hajat, mengantuk dan cuaca ekstrim panas atau dingin. 7. Memberikan kesempatan untuk pemohon memberikan keterangan sampai selesai setelah itu memberikan kesempatan pula bagi terdakwa menyampaikan keterangannya, 8. Hakim tidak boleh menyuruh sumpah atas terdakwa tanpa kemauan atau keinginan dan persetujuan dari pemohon 9. Hakim tidak boleh menunjukkan cara mendakwa dan membela kepada keduanya 10. Hakim tidak boleh menrima saksi yang tidak adil 11. Hakim tidak boleh menerima saksi musuh kepada musuhnya 12. Hakim tidak boleh menerima saksi ayah kepada anaknya atau sebaliknya 13. Surat-surat hakim kepada hakim yang lain berisi hukum harus disaksikan dua rang saksi dan mereka berdua mengetahui isi surat itu Kesimpulan Adanya perbedaan pendapat para tokoh Islam dalam menyikapi demokrasi dalam sistem pemerintahan, ada sikap penolakan sama sekali terhadap sistem demokrasi, tapi ada juga demokrasi asalkan sesuai dengan aturan yang ada Jurnal Al Ashriyyah, Volume 7 No 2 Oktober 2021 109-120 Muhamad Soleh Ritonga Page 119 dalam al-Qur’an. Dalam kajian demokrasi yang berwawasan Al-Qur’an maka adanya ayat yang menganjurkan demokrasi pada surat Ali Imran ayat 159. Ayat tesebut menggambarkan bagaimana masalah urusan diselesaikan dengan jan musyawarah. Adapun format dan teknis musyawarah sesuai dengan kebijakan umat sesuai kondisi, tempat dan masa. Kesepakatan musyawarah tersebut adalah kesepakan yang baik, tidak melanggar aturan agama,tidak boleh melakukan kesepakatan yang buruk, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 2. Begitu pula bahwa penegakan hukum ada aturan yang ditetapkan dalam Al-Qur’an. Hal ini tergambar pada surat al-Maidah ayat 8, yang memerintahkan agar seorang yang beriman harus mengagungkan perntah Allah, agar benar-benar menjadi penegak keadilan, jangan karena rasa kebencian, maka tidak berlaku adil. Dengan adanya ayat yang menganjurkan demokrasi dan penegakan hukum. Maka Islam tidak bisa dipisahkan dengan masalah-masalah keduniawian khususnya pada demokrasi dan penegakan hukum. Dengan demikian pendapat sekuler tidak sesuai dengan Al-Qur’an atau pandangan agama Islam. References Departemen Agama RI. 1425 H/2004. Al-Qur’an dan Terjemah, Surabaya CV. Mekar. Abû al-Fidâ`Ibn Katsir al-Damisqiy. 1417 H/ 1997 M. Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm, Bairût Dâr al-Fikr. Cet. 1. Jjuz 1 214. Abû Dâwûd Sulaimân Ibn al-Asy’ats Al-Sajastâniy. Sunan Abî Dâwûd, Bairût Dâr al-Kitâb al-Arabiy. Juz 3, No. 3575. Bab fî al-Qâdhî Yakhtha’u. 324. Afifa Rangkuti 2018. Demokrasi dalam Pandangan Islam dan Barat, dalam Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum, 5 2 49-59. Ahmad al-Râzî Fakhruddîn Ibn al-Allâmah Dhiyâu al-Dîn Umar, Al-Tafsîr Al-Kabîr wa Al-Mafâtîh Al-Ghaib.... Juz 4 108. Al-Jawi, Muhammad Nawawi, Syeikh. tth,. Mirah Labiid Tafsiru an-Nawawi, Dar al-Kutub Islamiyyah Jakarta,Juz 1 194. Al-Maududiy, Abu al-A’la. 1977. Mabdi’u al-Islam. Damaskus Dar al-Qur’an al-Karim 130. Al-Shabuni, Muhammad Ali. tth. al-Shafwah al-Tafasir, Beiru Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Jilid 1 330. Azyumardi Azra. 1996. Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Postmodernisme, Jakarta Paramadina, cet 1 147-148. Carto Nuryanto. 2018. Penegakan Hukum Oleh Hakim Dalam Putusannya Antara Kepastian Hukum Dan Keadilan. dalam Jurnal Hukum Khaira Ummah. 13 1 73. Eva Iryani Hukum Islam. 2017. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalam Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi. 17 2 24-31. Farida Nur Afifah 2020. Demokrasi dalam Al-Qur’anImplementasi Demokrasi di Indonesia dalam Jurnal Kaca Jurusan Ushuluddin STAI AL FITHRAH. 10 1 6-32. Jurnal Al Ashriyyah, Volume 7 No 2 Oktober 2021 109-120 Page 120 Muhammad Soleh Ritonga Fazlur Rahman 1405/1985. Islam dan Modrenitas. Bandung Pustaka 54. Harun Nasution. 1975. Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran Dan Gerakan. Jakrta Bulan Bintang 131. Ilyas Bayunus dan Farit Ahmad. 1996. Sosiologi Islam Dan Masyarakat Kontemporer. Bandung Mizan 54. Irfan Idris.15 Agustus 2019. Ini Kriteria Radikalisme Menurut BNPT sourches URL Jalâl al-Dîin Muhammad ibn Ahmad Al-Mahallî dan Jalâl al-Dîin Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthî. Tafsîr al-Jalâlain, Qâhirah Dâr al-Hadîts 27. M. Rais Ahmad 2013. Penegakan Hukum atas Keadilan dalam Pandangan Islam dalam Jurnal Mizan; Jurnal Ilmu Syariah, FAI Universitas Ibn Khaldun UIKA BOGOR. 1 2 143-148. Muhammad Alî al-Shâbûnî 1420 H/ 1999 M. Shafwah al-Tafâsîr, Jakarta Dâr al-Kutub al-Islâmiyah, cet 1, jilid 1 240. Muhammad bi Jarîr bin Yazîz bin Katsîr bin Ghâlib al-Âmiliy Abû Ja’far al-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân fî ta’wîl al-Qur’ân. 1420 H/ 2000 M. Bairût Muassasah al-Risâlah. Cet 3 141. Sakina Rakhma Diah Setiawan. 15 Agustus 2019. Akademisi Minta Pemerintah Perjelas Definisi Radikal sourches URL Sukron Kami 2013 Pemikiran Poiitik Islam Tematik, Jakarta Kencana Prenada Media Grouop, cet 1 85. Sulaiman Rasjid, H.2005. Fiqh Islam, Bandung Sinar Baru Algensindo, cet 37 504. Taqiyu al-Dîn Abî Bakrin Muhammad al-Husainiy al-Hushniy al-Damasyqiy al-Syâfi’iy. 1422 H/2001 M. Kifâyatu al-Akhyâr fî halli Ghâyati al-Ikhtishâr. Bairut Dâr al-Kutubu al-Ilmiyyah 727-729. Tim Penyusun Kamus Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta Balai Pustaka, .cet. 16 1151-1152. Yusuf Qardhawi, al-Shahwah al-Islamiyah bain al-Juhud wa al-Tatharuf, diterjamahkan oleh Hawin Murthado dengan judul, Islam Radikal; Analisis terhadap Radikalisme dalam Ber-Islam, Solo Era Intermedia, cet 1 23. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this Rais AhmadThe human being is a very important factor in achieving legal justice. Legal justice is very coveted by anyone, including offenders though. If in a country that tends to act unjust law, including judges, then the government must act to prevent it. The government should enforce legal justice, not even apply to the unjust people. So that social justice can be created in people's lives, in addition there is help each other in doing good. There is a sense of interdependence with one another in social life interdependence.Keywords Islam, Justice, Law EnforcementAbstrak Faktor manusia merupakan sesuatu yang sangat penting dalam mencapai keadilan hukum. Keadilan hukum sangat didambakan oleh siapa saja termasuk pelaku kejahatan sekalipun. Jika dalam suatu negara ada yang cenderung bertindak tidak adil secara hukum, termasuk hakim, maka pemerintah harus bertindak mencegahnya. Pemerintah harus menegakkan keadilan hukum, bukan malah berlaku zalim terhadap rakyatnya. Sehingga keadilan sosial dapat tercipta dalam kehidupan masyarakat, selain terdapat saling tolong-menolong sesamanya dalam berbuat kebaikan. Terdapat naluri saling ketergantungan satu dengan yang lain dalam kehidupan sosial interdependensi.Kata Kunci Islam, Keadilan, Penegakan HukumAfifa Rangkutip>Dalam praktek kehidupan bernegara sejak masa awal kemerdekaan hingga hari ini, ternyata pemahaman demokrasi saat ini di Indonesia terdiri dari beberapa model demokrasi perwakilan yang berbeda satu dengan lainnya. Sejak era reformasi, ada perubahan politik yang signifikan di Indonesia. Melihat implementasi demokrasi di era reformasi ini sering disebut sebagai masa-masa euforia kebebasan, kita harus jujur dan rela merupakan cara untuk mengembangkan demokrasi kita yang tidak sehat, sehingga konsep demokrasi yang berulang kali kita kembangkan itu dapat meningkatkan situasi dan segera membawa bangsa ini keluar Dari krisis multidimensi yang terjadi, bahkan ada tanda-tanda semakin memperburuk situasi. Ayat Al-Qur'an yang berhubungan dengan demokrasi adalah Imran 159. Sementara di dalam Al Qur'an membahas musyawarah di 38. Diskusi tentang konsep demokrasi pada akhirnya menuntun umat Islam untuk bergerak maju dan mengimplementasikan garis besar Qur'an dan Sunnah Nabi dan praktek masyarakat yang ada di zaman Nabi dan Sahabat-Sahabatnya. Penggalian demokrasi itu penting dan relevan karena dalam Al Qur'an dan kehidupan Nabi dan Muslim sebelum kita ada dalam kehidupan masyarakat yang adil, beradab dan menjunjung tinggi nilai persaudaraan yang dapat dipertanggungjawabkan dalam kehidupan sosial di Indonesia.
Paraulama mempunyai pandangan yang beragam tentang lembaga ini. Dari berbagai pandangan yang ada, bisa disimpulkan bahwa ahlul hall wal ‘aqd ialah suatu lembaga yang berisi sekelompok orang yang adil yang mewakili segenap wilayah geografis dan keahlian yang relevan. Representasi wilayah geografis dibutuhkan untuk menggalang aspirasi rakyat
p>Dalam praktek kehidupan bernegara sejak masa awal kemerdekaan hingga hari ini, ternyata pemahaman demokrasi saat ini di Indonesia terdiri dari beberapa model demokrasi perwakilan yang berbeda satu dengan lainnya. Sejak era reformasi, ada perubahan politik yang signifikan di Indonesia. Melihat implementasi demokrasi di era reformasi ini sering disebut sebagai masa-masa euforia kebebasan, kita harus jujur dan rela merupakan cara untuk mengembangkan demokrasi kita yang tidak sehat, sehingga konsep demokrasi yang berulang kali kita kembangkan itu dapat meningkatkan situasi dan segera membawa bangsa ini keluar Dari krisis multidimensi yang terjadi, bahkan ada tanda-tanda semakin memperburuk situasi. Ayat Al-Qur'an yang berhubungan dengan demokrasi adalah Imran 159. Sementara di dalam Al Qur'an membahas musyawarah di 38. Diskusi tentang konsep demokrasi pada akhirnya menuntun umat Islam untuk bergerak maju dan mengimplementasikan garis besar Qur'an dan Sunnah Nabi dan praktek masyarakat yang ada di zaman Nabi dan Sahabat-Sahabatnya. Penggalian demokrasi itu penting dan relevan karena dalam Al Qur'an dan kehidupan Nabi dan Muslim sebelum kita ada dalam kehidupan masyarakat yang adil, beradab dan menjunjung tinggi nilai persaudaraan yang dapat dipertanggungjawabkan dalam kehidupan sosial di Indonesia.

Webblog ini berisi kutipan 1/3 buku "AFTER NEW PARADIGM - Catatan Para Ulama tentang LDII", penerbit Pusat Studi Islam Madani Institute, Juni 2008, ISBN 978-979-98256-6-7 Buku dapat diperoleh di TB Gramedia, TB Gunung Agung atau via pos. Kontak Bapak H. Nursalim UB Pondok Gede, Jakarta, 02128050135 (Flexi) atau 08161813515 (Mentari). Abstract Kedudukan demokrasi di Indonesia sangatlah penting, terlebih demokrasi dijadikan sebagai cara bukan sebuah tujuan. Tujuan bangsa Indonesia adalah untuk merdeka, dengan cara demokratisasi diharapkan dapat menyamakan derajat dan kedudukan warga negara di muka undang-undang, dengan tidak memandang asal-usul etnis, agama, jenis kelamin dan lain-lain. Demokrasi merupakan salah satu ajaran dalam al-Qur'an, terutama pada masalah pemerintahan. All-Qur'an memberikan berbagai macam aturan dan prinsip sebagai landasan demokrasi yang kemudian diimplementasikan di Indonesia. Dalam artikel ini akan dibahas mengenai pengertian demokrasi, demokrasi di Indonesia, pandangan ulama tentang demokrasi, demokrasi menurut al-Qur'an dan kemudian implementasinya di negara Indonesia. Adapun kesimpulan dari penulisan ini, demokrasi merupakan satu-satunya cara yang paling dekat dengan Islam, tentunya dengan berladasan pada prinsip-prinsip yang ada dalam al-Qur'an. Demokrasi ini dapat mengejawantahkan nilai-nilai Ilahi dalam segala kehidupan, seperti halnya yang telah diterapkan Rasulullah pada masyarakat Madinah yang tercantum dalam piagam Madinah. Sebagaimana negara Indonesia sudah melakukan demokratisasi walaupun belum sepenuhnya sampai tahap akhir. Gagasantentang khilafah, menjadi jargon yang diusung oleh mereka yang selama ini terpinggirkan oleh kekuasaan, yang mendapatkan momentum dalam terbukanya ruang informasi. Menurut pandangan Filsuf Politik Islam Al-Farabi (870-950 M), ada tiga golongan manusia, dalam kapasitas memimpin, yakni kapasitas membimbing dan menasihati. Secara garis besar, pandangan para ulama/cendekiawan muslim tentang demokrasi terbagi menjadi dua pandangan utama, yaitu pertama, menolak sepenuhnya, kedua, menerima dengan syarat tertentu. Berikut ditamplkan ulama yang mewakili kedua pendapat tersebut Pandangan Ulama Intelektual Muslim tentang Demokrasi 1. Abul A’la Al-Maududi Al-Maududi secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya, Islam tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap agama sehingga cenderung sekuler. Karenanya, al-Maududi menganggap demokrasi modern Barat merupakan sesuatu yang bersifat syirik. Menurutnya, Islam menganut paham teokrasi berdasarkan hukum Tuhan. 2. Mohammad Iqbal Menurut Iqbal, sejalan dengan kemenangan sekularisme atas agama, demokrasi modern menjadi kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama. Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal Islam tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi an sich, seperti yang dipraktekkan di Barat. Lalu, Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi sebagai berikut a Tauhid sebagai landasan asasi. b Kepatuhan pada hukum. c Toleransi sesama warga. d Tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit. e Penafsiran hukum Tuhan melalui ijtihad. Baca Juga Memahami Makna, Hikmah, Hakikat Beriman kepada Hari Akhir Memahami Makna, Ayat, dan Hadis Larangan Pergaulan Bebas dan Zina Kisah Dua Malaikat Pencuci Hati Nabi 3. Muhammad Imarah Menurut Imarah, Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif membuat dan menetapkan hukum secara mutlak berada di tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura Islam kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah Swt.. Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah Swt.. Jadi, Allah Swt. berposisi sebagai al-Syâri’ legislator sementara manusia berposisi sebagai faqîh yang memahami dan menjabarkan hukum-Nya. Demokrasi Barat berpulang pada pandangan mereka tentang batas kewenangan Tuhan. Menurut Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam, Dia membiarkannya. Dalam filsafat Barat, manusia memiliki kewenangan legislatif dan eksekutif. Sementara, dalam pandangan Islam, Allah Swt. pemegang otoritas tersebut. Allah berfirman “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”. Inilah batas yang membedakan antara sistem syariah Islam dan demokrasi Barat. Adapun hal lainnya seperti membangun hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam. 4. Yusuf al-Qardhawi Menurut Al-Qardhawi, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal, misalnya sebagaimana berikut Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam salat yang tidak disukai oleh ma'mum di belakangnya. Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar ma'ruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam. Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah Allah Swt. untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan. Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka, yaitu Abdullah ibnu Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas. Kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam. 5. Salim Ali al-Bahasnawi Menurut Salim Ali al-Bahasnawi, demokrasi mengandung sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan Islam dan memuat sisi negatif yang bertentangan dengan Islam. Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang haram. Karena itu, ia menawarkan adanya Islamisasi demokrasi sebagai berikut Menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah Swt.. Wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugastugas lainnya Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam al-qur'an dan Sunnah dan Komitmen terhadap Islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen. Menerapkan Perilaku Mulia Perilaku demokratis yang harus dibiasakan sebagai implementasi dari ayat dan hadis yang telah dibahas antara lain sebagai berikut 1. Bersikap lemah lembut jika hendak menyampaikan pendapat tidak berkata kasar ataupun bersikap keras kepala 2. Menghargai pendapat orang lain 3. Berlapang dada untuk saling memaafkan 4. Memohonkan ampun untuk saudara-saudara yang bersalah 5. Menerima keputusan bersama hasil musyawarah dengan ikhlas 6. Melaksanakan keputusan-keputusan musyawarah dengan tawakal 7. Senantiasa bermusyarawarah tentang hal-hal yang menyangkut kemaslahatan bersama 8. Menolak segala bentuk diskriminasi atas nama apapun 9. Berperan aktif dalam bidang politik sebagai bentuk partisipasi dalam membangun bangsa Baca Juga yuk 8 Tahap Periode Hari Akhir Yang Harus Kamu Ketahui Jenis Dan Keutamaan Ibadah Haji Memahami Makna Pengendalian Diri, Prasangka Baik, Husnużżan dan Persaudaraan Artikel Terkait Hormat dan Patuh Kepada Orang Tua dan Guru Tips Mempelajari Kerajaan - Kerajaan Islam Di Nusantara Ayat-Ayat Al-Qur’an dan Hadis Tentang Ilmu Pengetahuan Pengertian, Hukum, Rukun Dan Syarat Wakaf Pengertian Mawaris atau Kewarisan Dalam Islam MenurutPandangan Para Ulama A. Miftahul Amin Sekoah Tinggi Agama Islam (STAI) Taruna Surabaya Masyarakat Madani dan Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia Vol. 7, No. 1, November 2017 tentang hubungan agama dan negara tersebut secara dikotomis ke dalam tipologi religio -political power Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Demokrasi Berbicara tentang paham demokrasi itu menarik, banyak negara yang saat ini menganut paham ini. Salah satunya ialah negara kita sendiri yaitu negara Indonesia. Demokratis seringkali disebut-sebut dan dipandang sebagai sistem yang paling adil untuk penyusunan dan penegakan hukum. Namun pada kenyataannya tidak selalu demikian. Dari zaman yunani kuno hingga sekarang, mayoritas teoritikus di bidang politik banyak melontarkan kritik terhadap teori dan praktik demokrasi. Komitmen umum terhadap demokrasi merupakan fenomena yang terjadi baru-baru ini saja. Pada kesempatan kali ini penulis akan sedikit memaparkan tentang demokrasi dan dan bagaimana pandangan Islam terhadap paham asal katanya demokrasi berarti “rakyat berkuasa” atau goverment rule the people kata Yunani demos berarti rakyat, kratos atau kratein berarti kekuasaan atau berkuasa. Demokrasi merupakan asas dan sistem yang paling baik didalam sistem politik dan ketatanegaraan kiranya tidak dapat dibantah. Khasanah pemikiran dan preformansi politik diberbagai negara sampai pada satu titik temu tentang ini. Demokrasi adalah pilihan terbaik dari berbagai pilihan lainnya. Sebuah laporan studi yang disponsori oleh salah satu organ PBB, yakni UNESCO pada awal 1950-an menyebutkan bahwa tidak ada satupun tanggapan yang menolak “Demokrasi” sebagai landasan dan sistem yang paling tepat dan ideal bagi semua organisasi politik dan organisasi modern. Studi yang melibatkan lebih dari 100 orang sarjana barat dan timur itu dapat dipandang sebagai jawaban yang sangat penting bagi studi-studi tentang demokrasi.[1] Pandangan Islam tentang Demokrasi Di dalam sistem demokrasi, rakyat merupakan pemegang kendali penuh. Suatu undang-undang disusun dan diubah berdasarkan opini atau pandangan masyarakat. Setiap peraturan yang ditolak oleh masyarakat, maka dapat dibuang, demikian pula dengan peraturan baru yang sesuai keinginan dan tujuan masyarakat itu sendiri dapat disusun dan diterapkan. Berbeda halnya dengan sistem Islam, seluruh kendali maupun hasil keputusan berpatokan pada hukum Allah SWT. Masyarakat tidaklah diberi kebebasan menetapkan suatu peraturan apapun kecuali peraturan tersebut sesuai dengan hukum Islam. Demikian juga dalam permasalahan ijtihadiyah, suatu peraturan dibentuk sesuai dengan hukum-hukum politik yang sesuai dengan syari’at Islam. Kewenangan majelis syura dalam Islam terikat dengan nash-nash syari’at dan ketaatan kepada ulil amr pemerintah. Syura Musyawarah terbatas pada permasalahan yang tidak memiliki nash dalil tegas atau permasalahan yang memiliki nash namun memiliki indikasi beberapa pemahaman. Adapun permasalahan yang memiliki nash yang jelas dan dengan indikasi hukum yang jelas, maka syura tidak lagi diperlukan. Syura hanya dibutuhkan dalam menentukan mekanisme pelaksanaan nash-nash syari’ Syafii Maarif, pada dasarnya syura merupakan gagasan politik utama dalam Al-Qur’an. Jika konsep syura itu ditransformasikan dalam kehidupan modern sekarang, maka sistem politik demokrasi adalah lebih dekat dengan cita-cita politik Qur’ani, sekalipun ia tidak selalu identik dengan praktik demokrasi barat.[2]Adapun dasar-dasar musyawarah sebagaimana yang sudah digariskan oleh Al-qur’an dapat dijumpai dalam surah Ali-Imran ayat 159, yang berbunyi sebagai berikut.“maka disebabkan rahmat dari Allah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjatuhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membetulkan tekad, maka bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang orang yang bertawakal kepada-Nya. Qs. Ali Imran [3] 159. Kemudian di dalam surah Asy-Syuura ayat 38 Allah berfirman“Dan bagi orang-orang yang menerima mematuhi seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” Tentang siapa yang berhak untuk diajak musyawarah anggota musyawarah Islam tidak ada aturan pasti, oleh karenanya menjadi wewenang manusia untuk menetukannya. 1 2 Lihat Politik Selengkapnya .
  • g3c9qb7upb.pages.dev/693
  • g3c9qb7upb.pages.dev/548
  • g3c9qb7upb.pages.dev/775
  • g3c9qb7upb.pages.dev/968
  • g3c9qb7upb.pages.dev/183
  • g3c9qb7upb.pages.dev/979
  • g3c9qb7upb.pages.dev/532
  • g3c9qb7upb.pages.dev/180
  • g3c9qb7upb.pages.dev/966
  • g3c9qb7upb.pages.dev/707
  • g3c9qb7upb.pages.dev/361
  • g3c9qb7upb.pages.dev/579
  • g3c9qb7upb.pages.dev/237
  • g3c9qb7upb.pages.dev/131
  • g3c9qb7upb.pages.dev/419
  • pandangan ulama tentang demokrasi